DEKONSTRUKSI HUKUM ISLAM
DAN KRISTALISASI DI INDONESIA
Oleh: DR. EFRINALDI, M.Ag.
Abstraksi
Gagasan dekonstruksi hukum Islam di
Indonesia sesuai dengan subject matter yang selaras dengan
dinamika perubahan sosial, menjadi suatu mainstream, dengan
obsesi “membangun suatu corak keislaman yang puritan dan modern”. Gagasan
dekonstruksi ini secara epistemologis, dihipotesakan dalam bentuk
pemikiran sosial keislaman para pembaru pemikiran hukum Islam.
Logika sangat berperan dalam menelaah rasionalitas al-Qur’an
untuk memperoleh pengetahuan, sebagai suatu kerangka dasar bagi
kebenaran sebuah kepercayaan. Dalam legislasi al-Qur’an terkandung
prinsip umum dan legal spesifik. Prinsip umum merupakan makna dan
argumentasi di balik ketentuan legal-spesifik, terkadang dinyatakan
secara eksplisit mengiringi ungkapan-ungkapan legal spesifik.
Dalam gagasan pembaruan
pemikiran hukum Islam di Indonesia, secara substantif, ada
pembedaan pokok antara ajaran Islam yang bersifat qath’i
(yang absolut) dan zhanni (yang relatif). Distingsi antara qath’i
dengan zhanni begitu ditekankan,
karena dalam hal inilah ruang untuk berijtihad itu terbuka. Fleksibelitas
perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia sangat relevan
dengan memperkenalkan etos progresivisme tersebut dalam dinamika
dan kristalisasi hukum Islam. Implikasi dari corak pemikiran progresif
ini adalah pembebasan manusia dari hal-hal yang bersifat mitologis,
pasif maupun agresif-konservatif. Atas dasar etos progresif
ini, diakui kapasitas manusia yang memiliki segenap kebebasan (free
will, free act).
Dekonstruksi hukum Islam ini berupaya menemukan pengetahuan
yang mengakar mengenai ilmu keislaman yang moderat dan adaptatif dengan
perubahan sosial, untuk menghasilkan kepercayaan atau keimanan yang
puritan, yang selanjutnya terimplementasikan dalam tingkah laku yang
dapat dipertanggungjawabkan secara epistemologis dengan mengacu pada hukum
Islam yang elastis atau amal yang aktif-progresif. Hukum Islam yang
progressive menjadi entitas paling substantif dan paling menentukan
untuk kebenaran sebuah proposisi Islam.
Pendahuluan
Gagasan dekonstruksi hukum Islam di
Indonesia terlihat makin signifikan. Gagasan dekonstruksi hukum
Islam selaras dengan dinamika perubahan sosial, dengan obsesi “membangun
suatu corak keislaman yang puritan dan modern”. Gagasan ini berkembang memasuki
ruang, yang cenderung bersifat kultural, yuridis dan bahkan filosofis.
Gagasan dekonstruksi hukum Islam di
Indonesia, secara epistemologis, dihipotesakan dalam bentuk
pemikiran sosial keislaman para pembaru pemikiran hukum Islam.
Kepercayaan dan pendapat yang kuat tentang Islam, serta menghilangkan
kesangsian, untuk sampai pada tujuan ini, logika sangat berperan
dalam menelaah rasionalitas al-Qur’an untuk memperoleh pengetahuan,
sebagai suatu kerangka dasar bagi kebenaran sebuah kepercayaan. Dengan
ini akan dapat dibuka tabir yang membungkus kelahiran episteme-episteme
tersebut dengan membaca ulang (i'adah al-qiraah/ re-reading) atas
teks-tek yang melahirkan formulasi epistemologi hukum Islam. Dengan
cara demikian diharapkan umat Islam dapat membedakan antara Islam yang normatif
dan historis, atau antara kebenaran sosiologis dan kebenaran hakiki, sehingga
fenomena sakralisasi pemikiran (taqdis al-afkar) dan lebih-lebih lagi
fenomena taqlidisme dan bermazhab yang mewarnai kehidupan umat Islam
akan dapat diminimalisir. Hukum Islam yang progressive menjadi entitas
paling substantif dan paling menentukan untuk kebenaran sebuah
proposisi Islam.
Pemikiran hukum Islam
progresif ini berupaya menemukan pengetahuan yang mengakar
mengenai ilmu keislaman yang moderat dan adaptatif dengan perubahan sosial,
untuk menghasilkan kepercayaan atau keimanan yang puritan, yang selanjutnya
terimplementasikan dalam tingkah laku yang dapat
dipertanggungjawabkan secara epistemologis dengan mengacu pada hukum Islam yang
elastis atau amal yang aktif-progresif. Islam progresif ini
menjadi betul-betul progress dengan semangat kepeloporan, karena
dalam progresifisme inklusif termuat sifat kritis, yang
kritisismenya terlihat dalam tekanan yang kuat dalam
membuat distingsi-distingsi, kategori-kategori, analisa, dan
sebagainya—dengan penghargaan yang besar pada peran rasio. Landasan
progresifisme ini sangat penting dalam menampilkan corak hukum Islam yang
aplikatif dalam realitas kehidupan sehari-hari, responsif terhadap dinamika
perubahan dan kemajuan, tanpa perlu kemasan Islam mistis yang rumit, atau
perwujudan yang simbolik. Secara khas, yang dimaksud dalam gagasan ini
adalah pindahnya suasana Islam yang “pasif" atau
"agresif-radikalis" ke aktualisasi hukum Islam yang progresif dan
dinamis.
Epistemologi dan Sumber Dasar Metodologi Yurisprudensi
Islam
Dalam
konteks way of life bagi Muslim, Al-Qur’an dan Sunnah merupakan
sumber utama pengetahuan, sumber pokok yurisprudensi hukum (mashadir
al-ahkam) dalam Islam. Al-Qur’an telah sempurna diturunkan dan Hadis telah
berakhir terbit dengan wafatnya Rasulullah SAW. Berbagai aktifitas dalam
Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber
tersebut.
Secara praksis, ungkapan-ungkapan pesan al-Qur’an seyogianya
digeneralisasikan kepada prinsip-prinsip moral dalam berbagai
aktifitas dengan cara mengaitkan ungkapan-ungkapan spesifik al-Qur’an
beserta latar belakang dinamika sosiokultural dan politik dengan
mempertimbangkan ratio-legis (‘illat hukum) yang dinyatakan dalam
ungkapan-ungkapan al-Qur’an.[1] Hakekat al-Qur’an sebagai
”firman Allah” (kalam Tuhan) bersandarkan pada aspek keyakinan dan karenanya
menjadi dasar keimanan seseorang dan sumber acuan dalam melakukan
berbagai aktifitas.[2]
Legislasi
al-Qur’an pada dasarnya merupakan pernyataan-pernyataan al-Qur’an
yang bermuatan hukum, namun sekaligus juga merupakan kitab-kitab prinsip
dan seruan-seruan moral dalam berbagai aktifitas dan bukan dimaksudkan sekadar
legislasi semata.[3] Sebagai kebijakan-kebijakan moral
al-Qur’an mengangkat kedudukan “masyarakat kelas dua”:
wanita, anak-anak yatim, fakir-miskin, dan budak menuju terwujudnya
kondisi keadilan sosial dan persamaan esensial derajat manusia.[4]
Dalam legislasi al-Qur’an terkandung prinsip umum dan legal
spesifik. Prinsip umum merupakan makna dan argumentasi di balik
ketentuan legal-spesifik, terkadang dinyatakan secara eksplisit
mengiringi ungkapan-ungkapan legal spesifik. Legislasi zakat dalam hal
ini bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial bidang
ekonomi. Prinsip-prinsip umum ini secara praksis dijabarkan ke
dalam aturan legal spesifik. Formula legal spesifik dimaksudkan
sebagai solusi alternatif yang sarat dengan muatan nilai-nilai ilahiyyah
transendental terhadap berbagai permasalahan aktual yang makin kompleks.
Dengan demikian, ordonansi ilahiyyah tersebut mengandung aturan hukum
spesifik dan sumber nilai serta muatan moral yang prinsipil.
Ayat-ayat al-Qur’an ada yang bersifat prinsipil-definitif (qath’i)
dan kandungan general (zhanni). Ayat-ayat yang qath’i mengandung
makna yang cukup jelas dan spesifik, tidak memerlukan kepada interpretasi lain
dari makna zhahir. Sedangkan ayat-ayat yang bersifat zhanni
memerlukan interpretasi untuk bisa memahami kandungan maknanya. Porsi rasio
sangat menentukan dalam melakukan interpretasi dalam konteks ini. Rumusan
interpretasi yuristik yang bersifat rasional yang termuat dalam “fiqh” menjadi mainstream
dalam melakukan pengamalan-pengamalan melalui penggunaan
instrumen-instrumen tertentu.
Makna kandungan al-Qur’an yang bersifat qath’i dan zhanni
itu memberi petunjuk syari’at ditetapkan bukan untuk membebani pelaksana
hukum (mukallaf), tetapi guna memberi kemaslahatan bagi manusia.
Tujuannya adalah untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan kehidupan
sejahtera bagi umat manusia secara universal. Sifat general dari
ayat-ayat al-Qur’an mengandung makna bahwa al-Qur’an membiarkan
masalah-masalah mu’amalah, siyasah (politik), dan qadha (peradilan)
berkembang menurut kebutuhan masa, keadaan dan tempat. Ini menjadi indikator
bagi kedinamisan dan fleksibelitas nilai-nilai al-Qur’an.[5]
Problematika manusia dewasa ini banyak termasuk dalam kategorisasi mu’amalah.
Spektrum mu’amalah didominasi oleh ayat-ayat yang bersifat zhanni
dibanding qath’i. Oleh karena itu, paradigma ijtihadiyah yang
didasarkan pada epistemologi Islam sangat fleksibel sesuai dengan
dinamika dan mobilitas perubahan sosiokultural. Pengembangan
kajian–kajian sebagai upaya reformasi dan reinterpretasi terhadap Islam sudah
seyogianya mengacu pada analisis faktual terhadap implementasi konsep-konsep
dalam dinamika perubahan sosial.
Suatu penafsiran al-Qur’an yang faktual harus dilakukan. Bahaya besar dalam
upaya seperti ini, tentu saja adalah timbulnya proyeksi ide-ide
subyektif ke dalam al-Qur’an dan menjadikannya sebagai objek
perlakuan arbiter, namun konsekwensi ini dapat diminimalisir, maka suatu
metodologi yang seksama untuk memahami dan menafsirkan al-Qur’an harus
digunakan.
Dalam menafsirkan al-Qur’an pertama kali harus dicari penjelasannya pada
al-Qur’an sendiri. Sebab, seringkali ada ayat-ayat yang disebutkan secara
ringkas pada suatu tempat, sedangkan penjelasannya mencuat pada ayat lain. Jika
tidak ditemukan ayat yang menjadi penjelas bagi sesuatu yang hendak
ditafsirkan, kemudian dicari penjelasannya pada hadis. Sebab, Rasul lebih
mengetahui makna hakiki suatu perintah atau berita yang
disampaikan kepadanya. Jika dalam hadis tidak ada penjelasan,
dilihat pada penafsiran sahabat. Penafsiran ini lebih dekat kepada
kebenaran, karena para sahabat secara langsung mendengar sendiri dari
Rasul dan menyaksikan sebab-sebab turun (asbab al-nuzul) ayat. Apalagi
para sahabat mengetahui benar tentang bahasa Arab, lebih khusus lagi, bahasa
Arab yang dipakai ketika ayat-ayat itu diturunkan.
Pemahaman terhadap arti atau makna suatu pernyataan (ayat) sangat
penting, termasuk dengan mengkaji situasi atau problema historis di mana
pernyataan al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja sebelum mengkaji
ayat-ayat spesifik dalam situasi-situasi spesifiknya, suatu kajian mengenai
situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adat-istiadat, lembaga,
bahkan keseluruhan kehidupan masyarakat, terutama masyarakat di Arabia pada
saat Islam datang dan khususnya Makkah dan sekitarnya, serta konteks
keindonesiaan, harus dilakukan terlebih dahulu.
Setelah
itu, menggeneralisasikan respon-respon spesifik tersebut dan menyatakannya
sebagai ungkapan-ungkapan yang memiliki tujuan moral-sosial umum, yang dapat
“disaring” dari ungkapan-ungkapan ayat spesifik dalam sinaran latar
belakang sosio-historis dan dalam sinaran rationes legis
(illat) hukum yang sering dinyatakan. Al-Qur’an merupakan suatu
kesatuan, sehingga setiap arti dari ayat tertentu yang dipahami, setiap
hukum yang dinyatakan, dan setiap tujuan yang dirumuskan akan
koherensi dengan lainnya. Al-Qur’an sendiri mendakwakan secara pasti bahwa
“ajarannya tidak mengandung kontradiksi, melainkan koheren secara keseluruhan”.
Ide
pokok yang terkandung dalam cara berfikir dari ayat-ayat
spesifik menuju kepada prinsip, atau dengan kata lain, berfikir dari
aturan-aturan legal spesifik menuju kepada muatan moral sosial yang bersifat
umum yang terkandung di dalamnya. Ada tiga perangkat untuk dapat
menyimpulkan prinsip-prinsip moral sosial. Pertama, perangkat
'illat al-hukm (ratio legis) yang dinyatakan dalam
al-Qur’an secara eksplisit. Kedua, illat al-hukm
yang dinyatakan secara implisit yang dapat diketahui dengan cara
menggeneralisasikan beberapa ungkapan spesifik yang terkait. Ketiga, perangkat
sosio-historis yang bisa berfungsi untuk menguatkan illat al-hukm
secara implisit untuk menetapkan arah maksud tujuannya, juga dapat berfungsi
untuk membantu mengungkapkan illat al-hukm beserta tujuannya yang sama
sekali tidak dinyatakan.[6]
Sumber
kedua yurisprudensi Islam setelah al-Qur’an adalah Sunnah. Secara
leksikal, Sunnah mengandung arti shawwara (mencipta) dan al-sirah
(perilaku kehidupan). Selain itu, Sunnah juga bisa berarti
cara atau kebiasaan hidup (custom or habitual actions). Dengan demikian,
Sunnah dimaksudkan sebagai “tingkah laku yang merupakan teladan (exemplery
counduct) baik berupa fi’liyah (doing: perbuatan), qauliyah
(saying: ucapan), maupun sukutiyah
(unconducting: diam).
Atas
dasar itu, kurang tepat jika term Sunnah diartikan dalam konteks fi’liyah saja.
Menurut Fazlur Rahman (intelektual Islam asal Pakistan), kepatuhan
terhadap Sunnah (sifat normatif) dalam tesa historis tidak
merupakan bagian integral dari Sunnah, melainkan berasal dari
otoritas di luar Sunnah, walaupun untuk menyempurnakannya, Sunnah
tersebut perlu dipatuhi[7]. Dalam konteks ini, Sunnah tidak
diartikan sebagai “praktek normatif,” karena Sunnah yang berkembang pada
masyarakat awal muslim bukanlah Sunnah Nabi melainkan kebiasaan orang
Arab pra Islam yang dimodifikasi al-Qur’an. Dengan demikian hadis dengan Sunnah
memiliki “diferensiasi” yang khas. Hadis secara orisinil berasal dari Nabi,
bukan berasal dari sunnah (praktek) yang hidup saat itu dan bersifat
normatif.[8]
Meskipun
menurut para ahli hadis, Sunnah sama dengan hadis, tetapi pada hakekatnya ada
perbedaan. Hadis ialah semua peristiwa yang disandarkan kepada Nabi,
walaupun hanya sekali saja terjadi di sepanjang hayatnya, sedangkan
Sunnah adalah amaliah Nabi yang mutawatir, lebih khusus dari segi
maknanya.
Sunnah mengalami evolusi historis menjadi sunnah yang hidup dan
selanjutnya diformalisir menjadi hadis. Dalam perspektif mayoritas
ahli ushul fiqh, konsep Sunnah atau hadis berkembang cukup bervariasi:
hadis mutawatir, masyhur, ahad, mawdhu’, dan lain-lain, dengan berbagai
peringkat kehujjahannya: shahih, hasan, dha’if, dan lain-lain.
Sunnah meskipun dari segi lafal penukilannya tidak mutawatir yang menyebabkan
sanadnya pun menjadi tidak mutawatir, namun karena pelaksanaannya mutawatir,
maka tetap dinamakan Sunnah.
Otoritas Sunnah selain sebagai bayan terhadap al-Qur’an juga sebagai tasyri’
(legislasi Islam)[9] dalam berbagai persoalan. Otoritas bayan
Sunnah Nabi antara lain dalam bentuk tafsir al-mubham,
tafshil al-mujmal, taqyid al-muthlaq, takhshish al’am.[10] Semua
bentuk bayan ini merupakan otoritas Sunnah sebagai tasyri,’
yakni sebagai penetap hukum yang bersifat independen, dalam
kasus-kasus yang al-Qur’an
tidak menetapkan hukumnya,[11] merupakan otoritas Nabi yang bersifat
ekstra Qur’aniy.[12]
Ruang
gerak atau sifat otoritas Sunnah Nabi lebih cenderung sebagai
konsep perilaku, yang jika dipandang dari sisi
al-Qur’an, Sunnah merupakan upaya operasional, karena itu lebih mencerminkan
muatan situasional pada zamannya, kecuali yang menyangkut aspek
religiositas dan moral Islam.[13]
Sifat otoritas Sunnah Nabi, seiring dengan ungkapan-ungkapan legal
spesifik al-Qur’an, yang seyogianya pemikiran- pemikiran seputar ini
makin dikembangkan agar situasi dan kondisi baru dapat
tercakup ke dalamnya. Dalam konteks ketetapan legal spesifik al-Qur’an,
kedudukan Sunnah Nabi merupakan model atau pola aplikasinya. Sedang
ketetapan legal spesifik al-Qur’an merupakan penjabaran dari
prinsip-prinsip umum al-Qur’an. Perlu ada nuansa baru dalam reinterpretasi
terhadap al-Qur’an dan Sunnah, sebagai ultimate goal Islam
progresif, sehingga lebih adaptatif dengan dinamika perubahan.
Dekonstruksi
Hukum Islam: Paradigma Progresif
Fleksibelitas perkembangan
pemikiran hukum Islam di Indonesia sangat relevan dengan
memperkenalkan etos progresivisme dalam dinamika dan kristalisasi
hukum Islam. Implikasi dari corak pemikiran progresif ini adalah
pembebasan manusia dari hal-hal yang bersifat mitologis, pasif maupun
agresif-konservatif. Atas dasar etos progresif ini, diakui
kapasitas manusia yang memiliki segenap kebebasan (free will, free
act).
Dalam gagasan pembaruan pemikiran Hukum Islam di Indonesia, secara
substantif, ada pembedaan pokok antara ajaran Islam yang
bersifat qath’i (yang absolut) dan zhanni (yang relatif).
Distingsi antara qath’i dengan zhanni
begitu ditekankan, karena dalam hal inilah ruang untuk
berijtihad itu terbuka.
Ditinjau isi kandungan al-Qur’an, sebenarnya al-Qur’an tidaklah mengandung
segala-galanya. Dalam QS Al-Maidah (5): 3 dikatakan sebagai Allah
telah menyempurnakan agama, bukanlah dimaksudkan al-Qur’an telah lengkap dengan
segala ilmu pengetahuan, teknologi dan sistem kehidupan masyarakat dalam
segala seginya. Konotasi ayat tersebut khusus dalam
penyempurnaan dasar agama dan batasan halal dan haram. Dalam
al-Qur’an terdapat 6236 ayat, hanya ada 650 ayat yang berisi tentang
iman, ibadah; 500 ayat tentang kehidupan
masyarakat; 150 ayat tentang ilmu pengetahuan. Dari sekitar
650 ayat itu, tidak semuanya bersifat jelas, tanpa perlu
penafsiran.
Meskipun secara keseluruhan al-Qur’an bersifat qath’i al-wurud
(absolut dari Allah), tetapi ada pengklasifikasian kepada ayat-ayat yang
jelas, absolut dan satu artinya (qath’i al-dlalalah) dan ayat yang
bisa mengandung berbagai pengertian (zhanni al-dlalalah).
Klasifikasi ayat-ayat yang terakhir ini, yang menimbulkan berbagai mazhab
dan aliran dalam Islam.
Pembedaan ini, menuntut sikap toleran dalam menerima pluralitas
aliran pemikiran keagamaan. Porsi ini merupakan kavling
penafsiran sekaligus ruang ijtihad, dengan pemfungsian rasio secara
optimal.
Langkah dan strategi dekonstruktif dapat dilakukan dengan dua hal. Pertama,
pola pemikiran Islam yang telah melahirkan formulasi tradisi keilmuan Islam
harus ditelaah ulang (re-reading) secara benar sebagai upaya membongkar
(dekonstruksi) sistem pemikiran (episteme) yang dominan
dalam suatu tahap sejarah tertentu. Ini disebut dengan prosedur regresif.
Kedua, karena teks yang diderivasi oleh tradisi tersebut kini
masih aktif sebagai sistem pengetahuan, maka diupayakan adanya transformasi
muatan-muatan dan fungsi awalnya kepada sesuatu yang baru. Ini disebut prosedur
progresif.
Strukturalisme dan post-strukturalisme sebagai sebuah pendekatan
kemudian digunakan untuk membongkar keterkaitan antara ”bahasa-pemikiran-sejarah"
dalam setiap konsepsi keilmuan Islam. Hal ini dilakukan untuk menyadarkan umat
Islam yang telah melakukan distorsi atas realitas ontologis-metafisis-substansial
agamanya sendiri. Akibatnya, terjadi percampuran antara Islam
sebagai agama dengan Islam sebagai kerangka historis. Atas dasar ini,
kemudian dibedakan dua dimensi Islam, yaitu substansi keagamaan yang bersifat
universal dan unsur tambahan dari realitas sosial yang dimasukkan atas
nama Islam.
Dalam kaitannya dengan epistemologi hukum Islam dekonstruksi akan
menimbulkan beberapa implikasi. Pertama, dekonstruksi epistemologi hukum
Islam akan membangkitkan pola diskursus mengenai formulasi epistemologi
hukum Islam yang selama periode klasik-skolastik bahkan hingga ini
diabaikan, seperti epistemologi hukum Islam di kalangan Syi'ah dan
Khawarij. Dengan demikian, dekonstruksi ini akan melahirkan pemahaman
baru terhadap epistemologi hukum Islam sesuai dengan
perkembangan historis-sosiologis masyarakat muslim. Terbukti epistemologi
hukum Islam klasik-skolastik sendiri selalu terkait dengan kondisi
sosial, budaya, ekonomi, dan politik atau episteme periode
formatif yang tidak lepas pertempuran-pertempuran ideologi saat itu.
Kedua, dekonstruksi epistemologi hukum Islam akan melahirkan
perubahan struktur hirarkhis formulasi sumber hukum Islam klasik. Perubahan
struktur hirarkis ini disebabkan adanya perubahan alat analisis yang
digunakan dengan dimasukkannya alat analisis ilmu-ilmu sosial dan
humaniora yang berkembang pada abad 20-an, semisal sosiologi, sejarah, dan
linguistik. Alat analisis inilah yang cukup memadai untuk memahami Islam
saat sekarang yang hidup di tengah-tengah tantangan dunia modern.
Ketiga, dengan bergesernya struktur hirarkis formulasi
epistemologi hukum Islam ini dan diperkenalkannya ilmu-ilmu sosial dan
humaniora, maka dimungkinkan akan muncul logika pluralisme dalam pola
pikir umat Islam, sehingga berbagai dikhotomi dalam pemkiran hukum
Islam klasik yang memandang segala hal atas dasar hitam-putih,
halal-haram, sah-tidak sah, dan sebagainya akan diganti dengan
keanekaragaman pemikiran hukum Islam secara lebih terbuka. Hal ini
disebabkan karena dekonstruksi itu sendiri berusaha menempatkan berbagai
diskursus dan interpretasi berada dalam posisi historis, sosiologis, dan
epistemologis yang semestinya mengingat sistem aksiologis (value system)
sangat terkait dengan kondisi kesejarahan tertentu.
Keempat, dengan adanya logika pluralisme ini maka dimungkinkan
mengurangi atau bahkan menghilangkan fenomena dogmatisme dan ortodoksisme dalam
pemikiran hukum Islam, baik di kalangan Sunni, Syi'i, maupun Khariji.
Dalam hubungan ini dengan wacana Islam
progresif, epistemologi fiqh merupakan tema penting yang menarik untuk dikaji
lebih spesifik mengingat pola pikir fiqh-oriented telah
"menyejarah" dan hampir dominan di
semua negara muslim. Ada dua alasan mengapa fiqh begitu
dominan. Pertama, Islam mempunyai ajaran yang menuntut tindakan
praktis berkenaan dengan norma perilaku dan aturan peribadatan yang
secara lahiriah harus bisa diukur. Kedua, kebutuhan ulama dan
umara dalam mengendalikan atau membimbing umat Islam dalam perilaku
sosial dan politik. Dominasi pola pikir fiqh-oriented ini
kemudian menjadi salah satu unsur kelemahan umat Islam dalam
memahami masalah berpindahnya "agama yang
benar" kepada "ortodoksi ideologi". Atas dasar ini, sangat
disesalkan lahirnya pembakuan dan pembukuan ajaran agama yang
dianggap standar sehingga menyebabkan lahirnya kejumudan atau reifikasi ajaran
Islam.
Reformasi hukum Islam dewasa ini semakin
signifikan sehingga lebih akomodatif dengan dinamika perubahan sosial. Dalam
konteks ini untuk mengeksplorasi kajian terhadap hukum Islam digunakan sistem
berfikir eklektif. Suatu dalil yang diprioritaskan, mengacu pada dalil mana
yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran dan didukung oleh dalil yang
kuat yang selaras dengan perkembangan masyarakat.
Metode analogi deduksi ini memuat kebebasan berijtihad amat penting dalam
menganalisis masalah-masalah yang tidak diperintah dan tidak pula dilarang (mubah)
yang belum ada ketetapan hukumnya. Selain itu, metode komparasi juga dipaparkan
terutama terhadap masalah-masalah yang telah ada ketetapan hukumnya, berupa
produk ijtihad fuqaha’ terdahulu, baik dari kalangan Sunni maupun Syi’ah
atau Khawarij. Metode komparasi yakni suatu metode dengan membandingkan (muqaranah)
antara satu pendapat dengan pendapat lain dari berbagai latar aliran
hukum, dan memilih yang paling baik dan lebih mendekati kebenaran serta
didukung oleh dalil yang kuat (tarjih).
Metode komparatif itu kemudian lebih dikembangkan lagi dalam wacana
pluralisme. Perbandingan kajian antara fiqh dengan hukum adat dan hukum
positif di Indonesia, serta dengan syari’at-syari’at agama lain, seperti dengan
Yahudi, Nashrani, hukum Romawi (barat). Wawasan yang luas dalam ilmu fiqh
sangat diperlukan untuk melakukan analisis perbandingan. Kajian
perbandingan antara berbagai mazhab, untuk melacak materi hukum
yang lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat secara luas. Atas dasar
itu, fanatisme mazhab merupakan suatu hal yang tidak logis lagi.
Dalam perspektif ilmu fiqh, metode komparasi ini disebut dengan fiqh
al-muqaran. Ini dirumuskan sebagai suatu ilmu yang mengkaji hukum
syara’ dengan memaparkan pendapat-pendapat yang beragam terhadap suatu masalah
dan dalil yang digunakan, antara kaidah-kaidah, membanding yang satu dengan
yang lain, kemudian mengambil yang paling baik dan lebih dekat kepada kebenaran
serta membandingkannya dengan peraturan yang berlaku dalam suatu negeri.[14]
Dengan metode komparasi terpadu, masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum
dapat dikemukakan teori dan kerangka dasarnya untuk menyorot apa yang
telah dikemukakan fuqaha’ terdahulu. Dengan metode ini, elastisitas hukum
Islam (fiqh) dapat makin tumbuh dan berkembang tanpa
melepaskan diri dari apa yang telah dirumuskan fuqaha’. Fiqh akan selaras
dengan perkembangan masyarakat modern. Fiqh yang adaptatif dean akomodatif
dengan dinamika perkembangan masyarakat. Takhrij, tahqiq, dan tarjih
merupakan hasil studi banding, yang berupa produk ijtihad. Ijtihad adalah
dinamisator bagi eksisnya fiqh.[15]
Penggunaan metode komparasi ini akan memudahkan dalam perumusan kompilasi atau
kemudian kodifikasi hukum Islam. Dengan mengkaji fiqh secara komparatif
akan memungkinkan memilih ketetapan hukum yang sesuai dengan
situasi dan kondisi Indonesia.[16] Dengan ini kelihatan jelas dalam
mengkaji fiqh sarat dengan pendekatan sosio-kultural dan sosio-historis
dengan tetap mengacu pada dalil-dalil nash.
Penetapan hukum oleh para fuqaha’ terdahulu, dalam analisis sejarah
pertumbuhan dan perkembangan tasyri’, tidak terlepas dari
pengaruh perkembangan sosio-kultural. Dengan pendekatan sejarah (dirasah
tarikhiyah) dapat diketahui metode fuqaha’ dalam menggali
hukum, situasi dan kondisi yang mempengaruhi, serta maksud mendasar
dari penetapan hukum (istinbath). Dalam menelaah fiqh
warisan fuqaha’, digunakan juga pendekatan tarikhiyah ini, apalagi
umumnya, para ahli fiqh menetapkan hukum berdasarkan ‘illat.
Selain itu, dalam
menghadapi perkembangan fiqh di masa mendatang, pendekatan dirasah
waqi’ah (pendekatan sosio-kultural) juga amat penting. Dirasah
waqi’ah ini dimaksudkan adalah ilmu hukum kemasyarakatan.[17]
Dalam konteks reformasi hukum Islam, dua model pendekatan ini sangat penting. Dirasah
tarikhiyah dan dirasah waqi’ah perlu dikombinasikan sebagai
acuan metodologis dalam penataan kembali hukum Islam yang lebih
adaptatif dengan dinamika perkembangan dan perubahan sosial.
Dengan demikian, fiqh bisa berubah sesuai situasi dan kondisi yang terjadi,
dengan memperhatikan kemaslahatan masyarakat secara umum.
Reformasi pemikiran hukum Islam tersebut mesti selalu berpijak pada nash. Makna
esensial dari pembaruan itu sendiri bukan berarti meninggalkan nash.
Dalam hal ini, pembaruan itu dengan memperbarui barang lama yang telah
usang dengan mengembalikannya seperti keadaan semula. Pembaruan hukum dilakukan
dengan mengembalikan pada muatan prinsip dan asas-asas hukum,
bukan dengan merombak atau menghancurkan sendi-sendi hukum.
Pembaruan dilakukan dalam lapangan yang menjadi garapan ijtihad. Lapangan
tersebut adalah masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang memerlukan
penetapan hukum yang prinsip-prinsip umumnya (mabadi ‘ammah) telah
ada dalam syari’at; dan prinsip-prinsip umum dan
hukum-hukum yang terinci mengenai masalah atau perkara yang mubah.[18]
Pembaruan hukum Islam malah tidak dapat dilakukan, jika sikap skeptis dan jumud
masih melanda para ulama dan umat Islam. Sebaliknya, sikap progresif dan
dinamis amat penting, tetapi sikap hati-hati tetap merupakan keharusan, di
samping mempunyai otoritas yurisprudensi, sehingga sangat probabilitas untuk
ber-istinbath dan ber-istidlal dalam merepresentasi makna
substantif syara’.
Signifikasi Ijtihad dalam Dinamisasi
Hukum Islam Progresif
Ijtihad merupakan suatu metode dalam
penggalian makna dan materi hukum dengan kemaslahatan sebagai tujuannya. Dalam
konteks sekarang, ijtihad dapat berarti sebagai kerja progresif untuk
memperbarui aturan-aturan yang terkandung dalam teks al-Qur’an atau Sunnah agar
keduanya mampu mencakupi situasi dan kondisi baru dengan memberikan suatu
solusi (aturan hukum) yang baru pula.[19]
Sudah merupakan suatu keniscayaan
untuk menggali hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum dalam berbagai
bidang, terutama yang menyangkut porsi dalil-dalil yang dzanni
secara maksimalis, yang belum ada penetapan hukumnya berdasar nash.
Fuqaha’ kontemporer seyogianya mereformulasi konsepsi
fiqh yang up to date yang akomodatif
dengan perkembangan situasi dan kondisi dalam kehidupan masyarakat modern.
Problematika hidup masyarakat memang makin beragam. Terhadap masalah yang
berkenaan dengan hukum yang belum ada penetapan hukumnya, tidak ada jalan lain
kecuali berijtihad. Ijtihad merupakan suatu tugas mulia sebagai upaya
memberikan solusi alternatif dari berbagai masalah hukum yang makin kompleks.
Fleksibelitas struktur fundamental
hukum Islam secara praksis kadangkala tidak diimbangi dengan
produktifitas pemahaman substantif melalui metode ijtihad. Implikasinya,
tradisi ilmu-ilmu keislaman, khususnya hukum Islam, terutama pasca abad 10 M
cenderung legal-formalistik dan stagnan. Asumsi bahwa
fiqh yang ada telah memuat pokok-pokok hukum Ilahi (syari’ah),
telah menghambat interpretasi substantif ijtihad tersebut, lalu tradisi taqlid
menjadi tumbuh subur.[20] Situasi ini menjadi semakin parah ketika
teks-teks interpretatif hukum Islam dijadikan teks otoritatif. Padahal tidak
jarang, teks tersebut hanya merupakan komentar (syarh) atau bahkan
mungkin komentar atas komentar (hasyiyah) sehingga teks pertama
justru menjadi hilang. Pada gilirannya, rumusan hukum Islam kehilangan
relevansinya dengan realitas kehidupan praktis.
Pembaruan limitasi dan ruang lingkup ijtihad
juga sangat perlu direkonstruksi. Dalam dinamika historisitas
Islam, ijtihad sebagai media dinamisasi hukum Islam sangat
progresif, bebas tanpa adanya aturan formal yang mengikutinya. Namun, dalam
perkembangannya ulama ushul fiqh membuat aturan-aturan yang di
antaranya berupa pembatasan (limitation) ruang lingkup dan syarat-syarat
ijtihad. Ulama Ushul selanjutnya membuat pemilahan antara hukum-hukum
yang menjadi wilayah ijtihad dan tidak menjadi kavling ijtihad. Secara
garis besar, wilayah ijtihad ini meliputi dua hal: pertama, hukum-hukum
yang tidak ada petunjuk nashnya sama sekali; dan kedua, hukum-hukum yang
ditunjuk oleh nash Zhanny. Sedangkan hukum-hukum yang telah ditunjuk dengan qath'i
dalalah tak ada sedikitpun peluang bagi ijtihad.
Diakui atau tidak pembuatan limitasi
ijtihad tersebut ternyata dalam dinamika historisitas Islam membawa
dampak terhadap perkembangan pemikiran hukum Islam. Dibatasinya ijtihad dengan
tidak boleh menyentuh nash qath'iy dalalah telah menyebabkan
pembaruan hukum Islam bersifat parsial ad hoc. Karena untuk
mewujudkan pembaruan secara universal diperlukan adanya pemberian ruang
gerak ijtihad seluas-luasnya, termasuk yang qath'iy dalalah sekalipun.
Implikasinya, rumusan syarat-syarat ijtihad harus fleksibel, elastis, dinamis,
sesuai dengan kebutuhan mujtahid.
Pembaruan pemikiran Islam tidak dapat dilakukan, jika sikap skeptis dan jumud
masih melanda para ulama dan umat Islam. Sebaliknya, sikap progresif dan
dinamis amat penting, tetapi sikap hati-hati tetap merupakan suatu keharusan,
selain mempunyai otoritas yurisprudensi, sangat probabilitas untuk ber-istinbath
dan ber-istidlal dalam merepresentasi makna substantif syara’.
Dalam ijtihad, teks al-Qur’an dan preseden (Sunnah) dapat dipahami
untuk digeneralisasikan sebagai prinsip-prinsip dan bahwa prinsip-prinsip
tersebut lalu dapat dirumuskan menjadi aturan-aturan yang
baru. Dalam mekanisme kerja ijtihad meliputi pemahaman teks dan preseden
dalam keutuhan konteksnya di masa lampau, pemahaman situasi baru yang
sedang terjadi sekarang, dan pengubahan aturan-aturan hukum yang
terkandung di dalam teks atau preseden. Reformulasi konsepsi ijtihad ini
difungsikan sebagai upaya pembaruan hukum Islam, demikian juga sebagai
upaya menjawab tantangan situasi baru dalam konteks keindonesiaan.
Ijtihad adalah satu-satunya cara untuk mengantisipasi perubahan sehingga
nilai-nilai Islam dapat akomodatif dengan perkembangan masyarakat. Meskipun
demikian, ijma’, qiyas, istihsan, ‘urf, dan istis’hab
tetap ditempatkan dalam dua posisi yang berbeda. Di satu pihak, dalil hukum ini
bersama Qur’an dan hadis sebagai sumber ijtihad, yang karenanya juga merupakan mashadir
al-ahkam. Namun pada sisi lain, dalil hukum tersebut juga sebagai metode ijtihad
(thuruq al-istinbath al-masalik). Dengan metode double ini
kemudian direformulasikan fiqh yang mengindonesia.
Dalam aspek metodologis, dikemukakan metode perbandingan mazhab (muqaranah
al-madzahib). Metode komparatif ini, dalam kerangka kontekstualisasi
pemikiran fiqh di Indonesia, digunakan kalau memang problematika yang dihadapi
masyarakat sudah ada pemecahannya dalam mazhab-mazhab tersebut, baik mazhab
Sunni maupun non-Sunni, sejauh penggunaannya masih relevan dengan
perkembangan dan perubahan sosial dalam masyarakat.
Apabila problematika makin kompleks, sedangkan solusinya belum dirumuskan oleh
para fuqaha’ terdahulu, dilihat pada ijtihad bi al-ra’yi, yakni
menentukan hukum berdasarkan pada maslahat, kaidah-kaidah
kuliah, dan ‘illat hukum. Pada tataran implementatif, metode yang
dipakai meliputi: qiyas, istihsan, istishlah, ‘urf, dan istis’hab.
Metode-metode ini diaplikasikan selaras dengan kaidah-kaidah fiqh
yang relevan. Pengambilan keputusan hukum secara materia dan
forma diambil melalui ijtihad jama’i (ijtihad
kolektif) atau ijma’ (konsensus). Dalam konteks
legislasi, dengan acuan pada al-Qur’an, Sunnah, atau ra’yu,
ditempuh melalui konsultasi atas perintah kepala negara, bukan ijtihad
fardi. Kristalisasi hasil ijtihad menjadi ijma’ tersebut dan
kemudian kebijakan taqnin (penetapan hukum Islam menjadi undang-undang)
merupakan upaya sosialisasi hasil ijtihad.
Pola ijtihad yang ditempuh secara kolektif ini, atau lebih dikenal dengan sebutan
ijtihad jama’i, karena dalam ijtihad ini akan menawarkan lebih
banyak pilihan atau alternatif yang bersifat kualitatif. Sedangkan
kalau semata diandalkan ijtihad fardi akan melahirkan banyak
silang pendapat. Secara rasional, pandangan kolektif tentu
akan lebih baik daripada pandangan yang bersifat personal.
Untuk membumikan ijtihad kolektif, betapa signifikannya pendirian lembaga
ahl al-hall wal-aqd. Lembaga ini ditopang oleh dua sub
lembaga. Pertama, hai’ah siyasah (lembaga politik).
Anggota-anggota lembaga ini terdiri dari orang-orang yang dipilih oleh
rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Kategori kapabilitas dalam konteks ini,
mereka tidak mesti memenuhi persyaratan mujtahid, tetapi cukup menguasai
bidang yang diwakilinya. Kedua, hai’ah tasyri’iyah (lembaga
legislatif). Lembaga ini mencakup komponen ahl al-ijtihad dan ahl
al-ikhtishas secara signifikan.
Konfigurasi Politik bagi
Revitalisasi
Hukum Islam di Indonesia
Keberagaman mazhab fiqh, juga dalam teologi dan filsafat Islam menunjukkan
bahwa ajaran-ajaran Islam itu multiinterpretatif.[21] Watak multiinterpretatif ini telah
berperan sebagai dasar dari kelenturan Islam dalam sejarah.
Selebihnya, hal yang demikian itu juga mengisyaratkan keharusan
pluralisme dalam tradisi Islam. Karena itu, sebagaimana dikatakan oleh
banyak pihak, Islam tidak bisa dan tidak seharusnya dilihat secara monolitik.
Politik Islam tidak bisa dilepaskan
dari sejarah Islam yang multiinterpretatif semacam ini. Pada sisi lain,
hampir setiap orang Islam percaya akan pentingnya prinsip-prinsip
Islam dalam kehidupan politik. Pada saat yang sama, karena sifat Islam
yang multiinterpretatif itu, tidak pernah ada pandangan tunggal
mengenai bagaimana seharusnya Islam dan politik dikaitkan secara
pas. Bahkan, sejauh anggapan yang dapat ditangkap dari perjalanan
diskursus intelektual dan historisitas pemikiran dan praktik
politik Islam, ada banyak pendapat yang berbeda mengenai hubungan Islam dan
politik.[22]
Secara garis besar, dewasa ini ada
beberapa spektrum pemikiran politik Islam yang berbeda. Sementara
sama-sama mengakui pentingnya prinsip-prinsip Islam dalam setiap aspek
kehidupan, keduanya mempunyai penafsiran yang jauh berbeda atas ajaran-ajaran
Islam dan kesesuainnya dengan kehidupan modern dan aplikasinya dalam
kehidupan nyata.
Pada ujung satu spektrum, beberapa
kalangan Islam beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara; bahwa
syari'ah harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa kedaulatan
politik ada di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negara bangsa (nation-state)
bertentangan dengan konsep ummat yang tidak mengenal batas-batas
politik atau kedaerahan; dan bahwa sementara mengakui prinsip syura
(musyawarah), aplikasi prinsip itu berbeda dengan gagasan demokrasi yang
dikenal dalam diskursus politik modern dewasa ini. Dengan kata
lain, dalam konteks pandangan semacam ini, sistem politik modern—di mana
banyak negara Islam yang baru merdeka telah mendasarkan bangunan
politiknya—diletakkan dalam posisi yang berlawanan dengan
ajaran-ajaran Islam.
Pada ujung spektrum yang lain, beberapa
kalangan Islam lainnya berpendapat bahwa Islam tidak
meletakkan suatu pola baku tentang teori negara atau sistem politik yang
harus dijalankan oleh umatnya. Menurut aliran pemikiran ini, bahkan
istilah negara (dawlah) pun tidak dapat ditemukan dalam al-Qur'an.
Meskipun "terdapat berbagai ungkapan dalam al-Qur'an yang
merujuk atau seolah-olah merujuk kepada kekuasaan politik dan otoritas, akan
tetapi ungkapan-ungkapan ini hanya bersifat insidental dan tidak ada
pengaruhnya bagi teori politik". Bagi mereka, jelas bahwa
"al-Qur'an bukanlah buku tentang ilmu politik."
Meski demikian, pendapat ini juga
mengakui bahwa al-Qur'an mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang
bersifat etis mengenai aktifitas sosial dan politik umat manusia.
Ajaran-ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang "keadilan,
kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan." Untuk itu, bagi kalangan
yang berpendapat demikian, sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip
seperti itu, maka mekanisme yang diterapkannya adalah sesuai
dengan ajaran-ajaran Islam.
Selain kategori general di atas, ada
sementara kalangan yang menilai bahwa di Indonesia ada beberapa mainstream
(arus utama) pemikiran politik Islam. Arus utama ini dimaksudkan
sebagai kategori analitik, karena itu tidak terlalu menunjukkan perbedaan
absolut antara ide-ide dan orientasi-orientasi dalam kerangkanya.
Arus pertama dapat disebut
formalistik/skripturalistik. Istilah ini dimaksudkan untuk mengacu
pada bentuk pemikiran mereka yang mempertahankan pelaksanaan yang
ketat dari bentuk-bentuk Islam yang formal. Orientasi politik formalistik di
satu pihak menunjukkan bahwa kulturalisasi Islam harus
ditransformasikan ke dalam politisasi, yang kemudian memunculkan simbolisme
Islam. Pemeliharaan secara formalis atas otentisitas bahasa wahyu
bukan saja menunjukkan ikatan yang kuat pada
skripturalisme-tradisionalis, di samping mempertahankan kecenderungan
fundamentalis untuk menekankan konsep skriptural Islam, walaupun tanpa
dibarengi kesesuaian dengan bentuk-bentuk lembaga dan ide-ide modern.
Formalisme Islam nampak
menggabungkan penafsiran literal atas kitab suci. Sama-sama menekankan
skripturalisme tradisional di satu pihak, dan pihak lain menekankan
kecenderungan fundamentalis yang menekankan konsep skriptural Islam,
walaupun bukan dalam pengertian konsep-konsep syari'ah dapat dipahami
secara tradisional. Namun demikian, tidak sesuai dengan bentuk-bentuk
dari ide-ide dan lembaga-lembaga modern.
Beberapa unsur dari formalisme Islam
moderat terlihat misalnya dalam ide-ide intelektual universalis. Pengelompokkan
ini memasukkan Amien Rais ke dalam kelompok universalis. Di samping
Amien, Jalaluddin Rahmat dan AM Saefuddin termasuk ke dalamnya.
Universalisme Islam mendukung
pandangan bahwa hakikat Islam adalah universal dan menyeluruh. Pemikir-pemikir
universal cenderung menekankan kedaulatan Ilahi dalam prinsip tauhid yang
menurut mereka membantu membebaskan manusia dari kekuasaan-kekuasaan non-Ilahi.
Untuk membuat Islam bagi kekuatan pembebas, kaum universalis melihat perlunya
Islam yang dilembagakan. Menekankan keniscayaan adanya lembaga-lembaga sebagai
badan formal untuk melaksanakan prinsip-prinsip Islam merupakan sifat dasar
dari formalisme Islam.
Di samping itu, ada pula arus yang
cenderung menekankan pentingnya tingkat makna substansial tertentu sambil
menolak bentuk-bentuk pemikiran formalistik. Karena itu, arus ini dapat
disebut substantivistik. Istilah ini dimasudkan untuk menunjukkan
orientasi politik mereka yang menekankan tuntutan manifestasi substansial
nilai-nilai Islam dalam aktifitas politik, bukan sekedar manifestasinya yang
formal, baik dalam ide-ide maupun kelembagaannya. Bagi pendukung orientasi ini,
yang lebih penting adalah eksistensi intrinsik ajaran-ajaran Islam dalam arena
politik Indonesia, dan untuk mendorong Islamisasi perlu dilakukan
kulturalisasi, yaitu penyiapan landasan budaya, menuju terwujudnya masyarakat
Indonesia modern.
Gagasan-gagasan bagi penekanan Islamisasi
budaya telah diperjuangkan oleh mereka yang dikenal sebagai pemikir-pemikir
indigenis (pemikir yang menekankan pentingnya memperhatikan
unsur-unsur pribumi atau lokal dalam memahami Islam), yang telah
berupaya memperhatikan cita-cita Islam bagi budaya nasional Indonesia,
yang membedakan secara jelas antara Islam dan negara. Salah seorang
pencetus indigenisme adalah Abdurrahman Wahid, tokoh NU, yang
ketika pada awal tahun 80-an terkenal karena gagasannya tentang
"pribumisasi Islam" dalam menghadapi kultur Indonesia. Ide ini
didasarkan pada postulat pluralisme masyarakat Indonesia, di mana Islam hanya
berfungsi sebagai salah satu faktor komplementer bagi bangsa Indonesia
secara keseluruhan. Dalam hubungan ini penting bagi umat Islam mengembangkan
kesadaran kebangsaan. Karena menurutnya, atas dasar kesadaran ini negara Indonesia
didirikan.
Arus utama lainnya dewasa ini adalah Islam
Liberal. Istilah Islam Liberal pertama kali dikemukakan oleh Asaf Ali Asghar
Fyzee (India, 1899-1981). Inti utama dari pemikiran Islam Liberal, menurut
hasil penelitian Leonard Binder, mesti al-Qur'an itu bahasa wahyu
namun demikian makna dan esensi wahyu bukanlah hal yang bersifat
verbal. Sehingga untuk mendapatkan makna wahyu tidak terbatas pada kata-kata
yang terungkap dalam al-Qur'an dan untuk memahaminya melalui usaha yang
didasarkan kata-kata, tetapi penafsirannya dapat melampauinya sehingga
menemukan arti sebenarnya.
Maraknya gagasan Islam Liberal di
Indonesia—yang menurut Fauzan al-Anshari merupakan kelanjutan petualangan
pemikiran Nurcholis Madjid[23]—sebagai alternatif wacana Islam,
merupakan konsekuensi penolakan terhadap politisasi agama, seiring dengan
berkembangnya gerakan Islam "militan" dan politisasi agama. Penegakan
syari'at Islam, misalnya, kasus penerapan hukum rajam pada anggota Laskar Jihad
yang dilakukan oleh kelompok itu sendiri merupakan indikasi menguatnya gerakan
Islam militan (Gatra, No.24, April 2001), dan adanya keinginan untuk memasukkan
syari'at Islam ke dalam UUD dalam proses amandemen UUD 1945.
Kehadiran Islam Liberal juga merupakan protes dan perlawanan terhadap dominasi
Islam ortodoks.
Dalam hubungan Islam dan negara,
bagi Islam Liberal urusan negara adalah semata-mata urusan duniawi
manusia. Tak ada ketentuan atau kewajiban dari ajaran Islam secara spesifik
tentang bentuk pemerintahan manusia.[24] Argumen lainnya adalah Nabi tak pernah
menyatakan secara tegas bahwa sebuah sistem pemerintahan haruslah
memiliki pola politik tertentu. Hubungan Islam dan negara menurut
pandangan ini adalah bahwa Islam tidak secara jelas mengungkap
masalah konsep negara, dan urusan negara adalah urusan duniawi serta tidak
diatur oleh agama.
Berseberangan dengan ini, kelompok Islam
Literal jelas keberatan dengan pandangan ini. Kelompok Islam Liberal
ditandaskan tidak melihat realitas sejarah. Dalam pandangan Islam
Literal, sejak berdirinya negara Madinah yang memiliki konstitusi
tertulis pertama di dunia (piagam Madinah), Nabi Muhammad SAW sudah bertindak
sebagai kepala negara, yang selain mengangkat pejabat-pejabat negara juga
menjalankan hukum-hukum (syari'at) Islam terhadap seluruh warga negara.
Realitas di Indonesia juga begitu banyak syari'at Islam yang sudah
diatur oleh negara, seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Pokok
Perbankan, UU Zakat, UU Haji, dan sebagainya. Begitu pula kemunculan
gerakan-gerakan militan Islam di Indonesia, seperti Laskar Jihad, FPI, dan
Hizbut Tahrir yang menguat, bisa dimaknai sebagai partisipasi mereka
untuk terlibat merebut simpati publik.
Dalam pandangan progresivisme,
Islam memang tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara atau
sistem politik yang harus dijalankan oleh umatnya. Bahkan istilah negara (dawlah)
pun tidak dapat ditemukan dalam al-Qur'an. Meskipun "terdapat
berbagai ungkapan dalam al-Qur'an yang merujuk atau seolah-olah
merujuk kepada kekuasaan politik dan otoritas, akan tetapi ungkapan-ungkapan
ini hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi teori
politik".
Meski demikian, harus diakui bahwa
al-Qur'an mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat
etis mengenai aktifitas sosial dan politik umat manusia. Mabadi
al-Siyasy termaktub dalam nilai-nilai substansial Islam. Ajaran-ajaran ini
mencakup prinsip-prinsip tentang "keadilan, kesamaan,
persaudaraan, dan kebebasan." Hukum Islam menjadi sumber dan kerangka
dasar dalam dinamika politik. Kulturalisasi hukum Islam harus ditransformasikan
ke dalam politisasi, yang dibarengi kesesuaian dengan bentuk-bentuk
lembaga dan ide-ide modern.
Orientasi politik dalam pandangan
Islam progresif menekankan tuntutan manifestasi substansial nilai-nilai hukum
Islam dalam aktifitas politik, bukan sekedar manifestasinya yang formal, baik
dalam ide-ide maupun kelembagaannya. Yang lebih penting adalah eksistensi
intrinsik syari’at Islam dalam arena politik Indonesia, dan untuk mendorong
Islamisasi perlu dilakukan kulturalisasi, yaitu penyiapan landasan budaya,
menuju terwujudnya masyarakat Islam Indonesia modern.
Penutup
Fleksibelitas perkembangan pemikiran hukum
Islam di Indonesia sangat relevan dengan memperkenalkan etos
progresivisme (dekonstruksi hukum Islam) dalam dinamika dan kristalisasi hukum
Islam. Implikasi dari corak pemikiran progresif dan dekonstruktif ini
adalah pembebasan manusia dari hal-hal yang bersifat mitologis,
pasif maupun agresif-konservatif, dengan mengacu pada hukum Islam yang
elastis. Atas dasar etos progresivisme ini, diakui
kapasitas manusia yang memiliki segenap kebebasan (free will, free
act). Progressive menjadi entitas paling substantif dan
menentukan bagi kebenaran sebuah proposisi Islam.
Pemikiran hukum Islam progresif ini
berupaya menemukan pengetahuan yang mengakar mengenai ilmu keislaman
yang moderat dan adaptatif dengan perubahan sosial, untuk menghasilkan
kepercayaan atau keimanan yang puritan, yang selanjutnya
terimplementasikan dalam tingkah laku yang dapat
dipertanggungjawabkan secara epistemologis dengan mengacu pada hukum Islam yang
dekonstruktif-elastis atau amal yang aktif-progresif. Dalam paradigma
hukum Islam progresif ini menjadi betul-betul progress dengan
semangat kepeloporan, karena dalam progresivisme inklusif termuat sifat
kritis, yang kritisismenya terlihat dalam tekanan yang
kuat dalam membuat distingsi-distingsi, kategori-kategori,
analisa, dan sebagainya—dengan penghargaan yang besar pada peran rasio. Dengan
demikian akan dapat ditampilkan hukum Islam yang aplikatif dalam realitas kehidupan
sehari-hari, responsif terhadap dinamika perubahan dan kemajuan, tanpa perlu
kemasan Islam mistis yang rumit, atau perwujudan yang terlalu simbolik,
melainkan mewujud secara substantif.
Wallahu a’lam bi
al- shawab.
[1] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition, (Chicago: Chicago University
Press, 1980), h. 6
[2] Efrinaldi, Reaktualisasi Hukum Islam, Suatu
Kajian Metodologis dalam Pemikiran Fazlur Rahman, dalam Mimbar
Hukum, No. 50 Thn. XII 2001 (Jakarta:
Al-Hikmah & DITBINBAPERA Islam Depag RI), h. 98
[3] Pencapaian maksud dari legislasi
al-Qur’an tersebut akan semakin jelas terlihat jika dipandang dari
konteks dan dari latar belakang sosiologis masyarakat Arab ketika
masa turun wahyu, yang mana kehidupan manusia ketika itu diwarnai
kesenjangan pola hubungan dan eksploitasi kelompok “masyarakat kelas satu”
terhadap kelompok masyarakat kelas dua. Lihat
: ibid., h. 99
[4] Fazlur Rahman, Mayor Themes of the Qur’an,
(Minneapolis-Chicago: Biblioteca Islamica, 1980), h. 68.
[5] Hasbi Ash-Shiddieqy, Syari’at Islam Menjawab
Tantangan Zaman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), h.7-10, dan Dinamika
dan Elastisitas Hukum Islam, (Jakarta: Tinta-mas, 1976), h. 24-26.
[6] Fazlur Rahman, Toward Reformulating the
Methodology of Islamic Law, dalam “International Law and
Politics”, (vol. 12, 1972,), 221-222.
[7] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, (Karachi:
Institute of Islamic Research, 1965), h. 12.
[10] Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Al-Sunnah Qabla
al-Tadwin, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1963), h. 23-26.
[11] ‘Ajjaj al-Khathib mengungkap contoh pada Sunnah
Nabi yang melarang jual-beli buah-buahan yang masih muda dan belum
tampak. Lihat: ibid., h. 26.
[13] Sebagai ilustrasi teoretis dari hal ini,
misalnya, ketetapan Sunnah Nabi atas objek harta wajib zakat, atau Sunnah
Nabi ketika harus mengambil keputusan meringkas dan menjamak (qahshar dan
jama’) shalat dalam suatu jarak safar (perjalanan),
berkaitan erat dengan setting sosial masyarakat Arab pada masa itu.
Telaah dalam: Fazlur Rahman, Islamic Methodology ini History, Op.Cit.,h.
51.
[16] Idem, Fiqh Islam, Mempunai Daya Elastis, Lengkap,
Bulat, dan Tuntas, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 39.
[19] Idem, Islam and Modernity, Transformation of
Intellectual Traditions, (Chicago: Chicago University Press, 1982), h. 8
[20] John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or
Reality?, terj. Alwiyah Abdurrahman, (Bandung: Mizan, 1994), h.46.
[21] Telaah historis-sosiologis yang
panjang mengenai hal ini dapat ditemukan. Antara lain, dalam Marshall
G.S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World
of Civilization, Volume I-III, Chicago:
U niversity of Chicago Press, 1974.
[22] Lihat: Erwin I.J. Rosenthal, Islam
in the Modren National State, (Cambridge: Cambridge University
Press,1965), W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1960), Qamaruddin Khan, Political Concepts
in the Quran,(Lahore: Islamic Book Foundation, 1982), Muhammad Asad, The
Principles of State and Government in Islam, (Berkeley and Los Angeles:
University of California Press, 1961).
Bibiliografi
Ahmad al-Jurjawi, Ali, Hikmah
al-Tasyri’ wa Falsafatuhu. Kairo: Mathba’ah al-Yusufiyah, 1931
Ahmad Khatib, Hasan, Al-Fiqh
al-Muqaran. Kaiiro : Mathba’ah Dar el-Ta’lif, 1957.
Ahmed, Akbar S. & Hastings Donnan, Islam, Globalization, and
Postmodernity. London : Routledge, 1994.
Al-Anshori, Abi Zakariya, Fathul Wahab.
Singapura: Sulaiman Mariy, t.t
Al-Ayni, Badr al-Din, Umdah al-Qari
Syarh Shahih al-Bukhari, vol. V. Constantinopel: Mathbaah al-Amirah, 1310 H
Al-Darini, Fath, al-Fiqh al-Islami
al-Muqarin ma’a al-Madzahib. Damaskus: Mathba’ah Tarbin, 1979
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn
Muhammad, Al-Mustashfa Min ‘Ilmi al-Ushul. Beirut : Dar el-Fikr,
1991.
Al-Jaziry, Abd al-Rahman, Kitab al-Fiqh
ala al-Madzahib al-Arba’ah, qism al-mu’amalah. Kairo: Istiqamah,
1970.
Al-Jurjawi, Ali Ahmad, Hikmah
al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Kairo : Mathba’ah al-Yusufiyah, 1931.
Al-Khathib, Muhammad ‘Ajjaj, Al-Sunnah
Qabla al-Tadwin. Mesir: Maktabah Wahbah, 1963
Al-Sarakhsi, Al-Mabsuth, vol. XII.
Kairo: Mathba’ah Salafiyah, t.t
Al-Syahawi, Ibrahim Al-Suqy, Kitab Al-
Syahawi fi Tarikh al- Tasyri’ al- Islamy. Kairo : Syirkah
Al-Thiba’ah al-Funniyah al-Mut hahidah, 1969.
Al-Syahrastani, Muhammad Ibn ‘Abd al-Karim, Kitab
al-Milal wa al-Nihal. Kairo :
Dar
al-Ma’rifah, 1951.
Al-Syathibi, Abu Ishaq,
Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Jilid II. Beirut: Dar al-Fikr, 1973.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pengantar
Ilmu Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Audah, Abdul Qadir, Al-A’mal al-Kamilah.
Kairo : Al Mukhtar al- Islamy, 1994.
Begm, M.A.J , Social Mobility in
Islamic Civilization, alih bahasa Adeng Mukhtar Al-Ghazali dan Thoriq
A. Hinduan, Mobilitas Sosial dalam Peradaban Islam . Bandung : Sinar
Baru Al-Gensindo , 1987 .
Bello, Iysa A. , The Medieval Islamic
Controversy Between Philosophy and Orthodoxy, Ijma’ and Ta’wil in
the Conflict Between Al-Ghazali and Ibn Rusyd. New York : E.J Brill, 1989.
Benson, Purnell Handy, Religion in Contemporary Culture.
New York: Harper and
Brothers, 1960.
Coulson, Noel J., Conflicts
and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago: The University
of Chicago Press, 1969
Deedat, Ahmed, Al-Qur’an, The Miracle
of Miracles. Durban : Islamic Propagation Centre International , 1991.
Edy A. Effendy (ed.), Dekonstruksi Islam, Mazhab Ciputat. Bandung :
Zaman Wacana
Mulia, 1999.
Efrinaldi, Reaktualisasi Hukum Islam, Suatu Kajian Metodologis
dalam Pemikiran
Fazlur Rahman, dalam Mimbar Hukum, No. 50 Thn. XII
2001. Jakarta: Al- Hikmah & DITBINBAPERA Islam Depag RI.
Erwin I.J. Rosenthal, Islam in the
Modren National State. Cambridge: Cambridge University Press,1965.
Fauzan al-Anshary,
Koreksi atas Tafsir Liberal Syari'at Islam, Republika, 31
Agustus 2001.
Fazlur Rahman, Mayor Themes of the Qur’an. Minneapolis-Chicago:
Biblioteca Islamica, 1980.
_______, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition, Chicago: Chicago
University Press, 1980.
_______, Islamic Methodology in
History. Karachi: Institute of Islamic Research, 1965
_______, Mayor Themes of the Qur’an. Minneapolis-Chicago:
Biblioteca Islamica, 1980
_______, Islamic Methodology in History. Karachi: Institute of
Islamic Research,1965
_______, Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law,
dalam “International Law and Politics”, (vol. 12, 1972,), 221-222.
Fromm, Erich, Escape from Freedom. London:
Routledge and Kegan Paul, 1942
Hakim, Abdul Hamid, Al-Mu’in al-Mubin,
juz 4 . Jakarta : Bulan Bintang . 1976.
Ibn Abd al-Salam, ‘Izz al-Din, Qawaid
al-Ahkam fi Mashalih al-Anam. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.
Ibn al-Hummam, Al-Kamal, Fath al-Qadir
Syarh al-Hidayah. Beirut: Dar al-Fikr, 1980
Ibn Hazm, Al-Muhalla. Beirut :
Al-Maktab Al-Tijari li al-thiba’ah wa al-Tawzi’, t.t.
Ibn Qudamah, al-Mughni. Riyadh:
Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, tt
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa
Nihayah al-Muqtashid. Beirut : Dar al-Fikr, 1978
Ilyas Supena & M. Fauzi, Dekonstruksi
dan Rekonstruksi Hukum Islam. Yogyakarta: Gaya Media, 2002.
Jawad al-Mughniyah, Muhammad, al-Ahkam
al-Syakhsiya. Mesir: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1964
John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality?, terj.
Alwiyah Abdurrahman,
Bandung:
Mizan, 1994
Khallaf, Abd al-Wahab, ‘Ilm Ushul
Al-Fiqh. Jakarta : Al-Nasyr al-Majlis al-A’la al-Indonesy I Dakwah la-Islamiyah,
1392 H.
Lewis, Bernard, The Political Language of Islam.
London: The University of
Chicago Press, 1988.
Luthfi As-Syaukani,
pengantar Wajah Islam Liberal di Indonesia, Jakarta: JIL, 2002
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Islam, Mempunai Daya Elastis, Lengkap,
Bulat, dan Tuntas,
Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Madjid, Nurcholis, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan.
Bandung: Mizan, 1987.
Marshall G.S. Hodgson, The
Venture of Islam: Conscience and History in a World of
Civilization, Volume I-III,
Chicago: U niversity of Chicago Press, 1974.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Mesir:
Maktabah
Wahbah, 1963
Muhammad Asad, The
Principles of State and Government in Islam, Berkeley and Los
Angeles: University of California Press, 1961
Qamaruddin Khan, Political
Concepts in the Quran, Lahore: Islamic Book Foundation, 1982
Rosenthal, Erwin J. Islam in the Modern
National State. Cambridge : Cambridge University Press, 1965.
W. Montgomery Watt, Islamic
Political Thought, Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1960
Woodward, Mark R. (ed.), Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir
Islam Indonesia. Bandung : Mizan,
1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar