Hukum Islam Pada Masa Rasulullah dan Sahabat
Hukum Islam Pada Masa Rasulullah
(dari Bi’thah- 11 H./610-632 M.)
- Kehidupan Bangsa Arab Pra-Islam
Ciri utama tatanan masyarakatnya:
menganut paham kesukuan (qabilah/klan); tata sosial politik tertutup (partisipasi
warga terbatas; faktor keturunan lebih penting daripada kemampuan); mengenal
hierarki sosial yang kuat, dan merendahkan perempuan.
Masyarakat pra-Islam juga telah
mengenal jabatan-jabatan penting, seperti yang dipegang oleh Qushayy ibn Qilab
pada pertengahan abad V. Dalam rangka memelihara ka’bah, ada jabatan sbb:
hijaba (juru kunci), siqaya (penyedia air tawar dan minuman keras dari kurma),
rifadla (pemberi makan), nadwa (pemimpin rapat tahunan), liwa (pemegang bendera
tanda sedang menghadapi musuh), dan qiyada (pemimpin pasukan)
Dari segi akidah, bangsa Arab
pra-Islam percaya kepada Allah sebagai pencipta. Mereka tahu dari risalah
samawiyah –ibrahim dan Ismail. Namun kemudian mengalami transformasi (Baca:
penyimpangan) dengan menyembah berhala, pohon, binatang, dan jin sebagai
penyerta Allah (syirik). Mereka juga tidak percaya pada hari kiamat dan
kebangkitan (al-Mu’minun [23]: 37). Tapi masih ada yang mempertahankan akidah
monoteisme (al-hunafa), seperti Umar ibn Nufail dan Zuhair ibn Abi Salma.
Dalam bidang hukum, mereka memakai
adat (adat menjadi sumber hukum). Dalam perkawinan, ada model istibdla (suami
menyuruh istrinya berjimak dengan lelaki terpandang untuk mendapatkan keturunan
‘terhormat’); poliandri (perempuan dengan banyak lelaki, setelah melahirkan
tinggal menunjuk lelaki mana yang menjadi bapaknya); maqthu (lelaki menikahi
ibu tirinya setelah bapaknya mati—jika si anak masih kecil, ibu harus menungggu
si anak dewasa dan menentukan pilihannya, ibu tidak boleh menolak); badal
(tukar menukar istri tanpa cerai); dan shighar (wali menikahkan anak/saudaranya
tanpa mahar). Di bidang hukum keluarga, boleh berpoligini dengan jumlah tanpa
batas, perempuan dan anak kecil tidak dapat menerima warisan.[1]
Dalam muamalah, dibolehkan mubadalah (barter), munabadah (jual beli dengan cara
melempar batu, yang terkena berarti harus dibeli), kerjasama pertanian, dan
riba.
- Tasyri’ Mekah dan Madinah
Hukum Islam masa Nabi dibedakan
menjadi dua fase, Mekah dan Madinah. Ciri masyarakat Islam fase Mekah adalah:
jumlahnya sangat kecil, lemah dibandingkan para penentangnya, dan dikucilkan
(ekonomi diblokade—embargo). Karena sebelumnya masyarakat banyak yang menyembah
berhala, langkah pertama Nabi adalah memperbaiki akidah (risalah tauhid)[2],
di mana akidah merupakan pondasi amaliah ibadah.
Sedangkan ciri masyarakat Islam fase
Madinah adalah: a. Tidak lagi lemah, banyak dan berkualitas, b. Mengeliminasi
permusuhan dalam rangka mengesakan Allah, c. ada ajakan untuk mengamalkan
syari’at Islam untuk memperbaiki hidup berrmasyarakat, dan d. membentuk aturan
damai dan perang. Maka risalah yang disampaikan adalah hukum kemasyarakatan
yang mencakup muamalah, jihad, jinayat, mawaris, wasiyat, talak, sumpah, dan
peradilan.
Dalil hukum pada masa Rasulullah
adalah al-Qur’an (al-wahy al-matluww)[3]
dan as-Sunnah (al-wahy ghair al-matluww), serta ijtihad (Nabi maupun Sahabat).
Akomodasi Hukum Islam (al-Qur’an)
terhadap Adat
Al-Qur’an mengakomodir hukum yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat Arab pra-Islam, sifatnya tawaran
perbaikan—pembatalan maupun perubahan, seperti:
- Hukum poligini[4]. Poligini dibatasi maksimal empat isteri. Poliandri haram.
- Syarat-syarat Penerimaan Harta Pusaka
Dalam tradisi nenek moyang penduduk
Arab pra-Islam ketentuan utama penerimaan harta pusaka adalah: anak yang belum
dewasa dan perempuan tidak boleh menerima. Adapun syarat mempusakai adalah: 1.
Pertalian kerabat (qarabah), 2. Janji setia (muhalafah), dan 3. Adopsi
(tabanni). Pada zaman awal Islam (barusan Hijrah), selain karena pertalian
nasab/qarabah, juga karena adopsi, hijrah, dan mu’akhakh (persaudaraan
muhajirin-anshar). Akomodasi al-Qur’an adalah dengan menjadikan perempuan
sebagai anggota keluarga yang mendapatkan waris dan dibatalkannya sebab adopsi
untuk saling mewarisi.
- Ijtihad Nabi Muhammad SAW
Apa Nabi berijtihad terhadap sesuatu
yang tidak ada ketentuan nash dari Allah? Ada perbedaan pendapat: ulama Asy’ariyah
dan kebanyakan ulama Mu’tazilah, Nabi tidak boleh berijtihad tentang
amaliyah halal-haram; ulama ushul—Abu Yusuf al-Hanafi dan asy-Syafi’i
membolehkannya, sedang sebagian sahabat asy-Syafi’i yaitu al-Qadli ‘Abd
al-Jabar dan Abu Hasan al-Bashri berpendapat Nabi berijtihad dalam masalah
perang, bukan dalam bidang hukum. Sebagian yang lain berpendapat, Nabi tidak
berijtihad sebab perkataan, perbuatan, dan ketetapannya adalah as-Sunnah yang
berdasarkan wahyu juga.
Ikhtilaf itu memunculkan berbagai
komentar, di antaranya ulama Mesir, Muhammad Salam madkur, menurutnya Nabi
melakukan ijtihad tentang urusan dunia (bukan ibadah mahdhah). Ibn Hazm[5],
Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun, dan al-Kamal ibn al-Hamam, Nabi melakukan ijtihad.
Salah satu contohnya adalah panggilan dan pemberitahuan shalat. Al-Qadli ‘Iyadh
berpendapat bahwa Nabi berijtihad dalam masalah duniawi, contohnya strategi
perang khandaq, dan ternyata ditolak oleh kaum Anshar.
‘Abd Jalil ‘Isa mengungkapkan
beberapa contoh ijtihad Nabi:
- Cara memperlakukan anak-anak musyrikin yang ikut berperang, Nabi menjawab, “seperti bapak-bapaknya”.
- Qiblat ke Bait al-Maqdis (16-17 bln) sebelum ditetapkan ke arah Ka’bah
- Abdullah ibn Ubai (tokoh munafik) yang meminta Nabi memintakan ampun, Nabi menyanggupi dan memohon agar ia diberi petunjuk, tapi kemudian malah turun at-Tawbah (9): 80[6].
- Khawalah binti Tsa’labah bertanya tentang suaminya (Aus ibn Shamit) yang telah zhihar, Nabi menjawab: “kamu haram bagi suamimu yang telah zhihar”, berarti zhihar = cerai. Kemudian Allah turunkan al-Mujadilah (28): 1-4. Zhihar tidak termasuk talak, tetapi ybs harus melakukan kafarat zhihar, yaitu memerdekakan budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang fakir miskin, sebelum bercampur kembali dengan isterinya[7].
- Ijtihad Sahabat pada Masa Nabi
Sahabat yang melakukan ijtihad
adalah mereka yang diutus menjadi qadli atau hakim, yaitu Ali ibn Abi Thalib
(ke Yaman), Mu’adz ibn Jabal (Yaman), dan Khudzaifah al-Yamani yang diutus Nabi
untuk menyelesaikan sengketa dinding antara tetangga yang sama-sama mengakui
miliknya. Ijtihad Sahabat pada masa Nabi antara lain:
- Suatu hari para Sahabat berkunjung ke Bani Quraizhah. Nabi berpesan” la yushalliyanna ahadukum al-ashra illa fi bani quraizhah-jangan sekali-kali kamu melaksanakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah”, ternyata belum sampai, waktu ashar hampir habis. Ada yang shalat di jalan[8], ada yang tetap dengan pesan Nabi (shalat di Bani Quraizhah). Ketika berita ikhtilaf tersebut disampaikan kepada Nabi, beliau membenarkan keduanya.
- Dua orang sahabat melakukan perjalanan. Waktunya shalat tidak ada air.mereka tayamum dan shalat. Setelah shalat mereka mendapatkan air. Seorang berwudhu dan mengulang shalat, sedang yang seorang lagi tidak. Mereka lalu menghadap Nabi, Nabi berkata kepada yang tidak mengulangi shalat “Ashabta as-Sunnah, Engkau mengerjakan sesuai sunnah”, sedang kepada yang mengulangi shalat, Nabi bersabda: “al-Ajr marratain, Engkau dapat pahala dua kali”.
Hukum Islam pada Zaman Sahabat
(Khulafa Rasyidun, 11-40 H./632-661 M.)
- Pengaruh Fatwa terhadap Perkembangan Hukum
Ada beberapa persoalan yang dihadapi
sahabat, di antaranya: 1. Khawatir kehilangan al-Qur’an karena banyak sahabat
yang wafat[9],
2. Khawatir terjadinya ikhtilaf terhadap al-Qur’an seperti ikhtilaf Yahudi dan
Nasrani terhadap Injil, 3. Takut terjadi pembohongan terhadap Sunnah Rasul[10],
4. Khawatir umat Islam akan menyimpang dari Hukum Islam, dan 5. Perkembangan
kehidupan memerlukan ketentuan syari’at, dan tidak semua ada ketentuannya dalam
nash.
Dalam menghadapi persoalan tersebut,
mereka menentukan langkah-langkah dalam berijtihad. Langkah ijtihad—istinbat
al-ahkam—Abu Bakar adalah: Mencari ketentuan hukum dalam al-Qur’an, jika ada
langsung diterapkan. Jika tidak ada, mencari dalam as-Sunnah. Jika dalam
as-Sunnah tidak ada, bertanya pada sahabat apakah ada keputusan Rasul. Jika
ternyata tidak ada sahabat yang memberikan jawaban, maka ia mengumpulkan para
pembesar sahabat dan bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Begitu juga yang dilakukan Umar.
Sebelum mengumpulkan sahabat untuk bermusyawarah ia bertanya apakan Abu Bakar
telah memutuskan kasus yang sama? Jika ya, tinggal mengikuti keputusan itu,
jika tidak ada, ia mengumpulkan sahabat. Berikut wasiyat Umar kepada Syuraih
(qadli/hakim): “Berpeganglah kepada al-Qur’an dalam menyelesaikan kasus; jika
tidak ada, berpeganglah pada as-Sunnah; jika tidak ada juga, berijtihadlah!’.
Kepada Musa al-Asy’ari Umar berkata: “Kamu wajib memahami apa yang ada dalam
pikiranmu terhadap perkara yang tidak ada ketentuannya dalam al-Qur’an dan
Sunnah. Kenalilah persamaan-persamaan, kemudian analogikanlah kasus yang sedang
kamu hadapi; berpeganglah pada yang paling disenangi Allah dan yang paling
dekat pada kebenaran menurut pemikiranmu”.
Pengaruh fatwa terhadap perkembangan
HI adalah:
- Sahabat menelaah al-Qur’an dan Sunnah dalam menyelesaikan kasus. Jika tidak ada, baru melakukan ijtihad. Hasil ijtihad ini disebut fatwa, yi pendapat yang muncul karena adanya peristiwa yang terjadi.
- Sahabat telah menentukan dan menggunakan thuruq al-istinbat dalam menyelesaikan kasus.
Jadi sumber hukum Islam pada masa
sahabat adalah al-Qur’an, Sunnah, dan ijtihad (ra’yu).
- Sebab-sebab Ikhtilaf pada zaman Sahabat
Sahabat berbeda pendapat dalam
menyelesaikan suatu kasus karena mereka tidak terjaga dari kekeliruan. Di
samping itu juga ada dua pandangan mengenai otoritas kepemimpinan umat Islam
(sekaligus otoritas penetapan hukum)[11].
Ada tiga sebab ikhtilaf, yaitu: karena sifat al-Qur’an, sifat Sunnah, dan
karena penggunaan ra’yu. Sebab al-Qur’an di antaranya:
- Kata/lafad yang bermakna ganda/isytirak. Al-Baqarah (2): 228[12]. Kata quru’ mengandung dua arti: al-haid dan at-Tuhr. Menurut Umar, haid; sedangkan Zaid ibn Tsabit, at-tuhr. Penduduk Kufah—seperti Umar, Ali, Ibn Mas’ud, Abu Musa, Mujahid, Qatadah, ad-Dlahak, Ikrimah, Ubadah ibn Shamit, dan as-Saddi—beranggapan bahwa quru = haid, sedangkan penduduk Hijaz—Aisyah, Ibn Umar, Zaid ibn Tsabit, az-Zuhri, Abbab ibn Usman—memaknainya at-Tuhr. Sebab karena watak bahasa Arab. Ijtihad takhriji (takhrij al-ahkam).
- Hukum yang ditentukan al-Qur’an masing-masing “berdiri sendiri” tanpa mengantisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab pada satu kasus[13]. Misalnya iddah mati, 4 bln + 10 hari (al-Baqarah [2]: 234), dan iddah hamil adalah hingga melahirkan (at-Talak [65]: 4). Bagaimana jika hamil dan ditinggal mati? Ali ibn Abi Thalib dan Ibn Abbas, iddah yang terpanjang di antara dua iddah, sedangkan menurut Abdullah ibn Mas’ud yang berlaku iddah hamil sebab ayat tentang iddah hamil diturunkan setelah ayat iddah wafat. Ini berhubungan dengan ijtihad aplikasi hukum (tathbiq al-ahkam).
Adapun sebab perbedaan karena Sunnah
adalah sbb:
- Penguasaan Sahabat terhadap Sunnah tidak sama. Terjadi karena perbedaaan mereka dalam menyertai Nabi, ada yang intensif, ada yang awal-akhir masuk Islam.
- Ada riwayat telah sampai kepada seorang Sahabat tetapi belum sampai kepada yang lain, sehingga mereka menggunakan ra’yu. Contoh menurut Abu Hurairah orang yang masih junub pada waktu subuh, tidak dihitung puasa Ramadannya. Kata Aisyah, dihitung puasanya. Ia menjadikan peristiwa dengan Nabi sebagai alasannya. Abu Hurairah akhirnya menarik pendapatnya.
- Berbeda dalam menakwilkan Sunnah. Seperti masalah thawaf. Mayoritas sahabat berpendapat bersegera thawaf sunah, sedangkan menurut Ibn Abbas, tidak sunah.
Sedang perbedaan dalam menggunakan
ra’yu, seperti perbedaaan antara Umar dan Ali tentang perempuan yang menikah
dalam waktu tunggu (iddah). Umar, apabila belum dukhul, harus
dipisah (selesaikan iddahnya), bila sudah dukhul, harus dipisah dan
menyelesaikan dua iddah (dari suami pertama dan kedua). Ali,
perempuan itu hanya diwajibkan menyelesaikan iddah yang pertama. Ali berpegang
pada keumuman ayat, sedangkan Umar pada tujuan hukum, yakni agar orang tidak
lagi melakukan pelanggaran.
Perkembangan Fatwa Sahabat
Sahabat yang terkenal sebagai mufti
adalah Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Abbas, dan Abdullah ibn Mas’ud. Ijtihad
Abu Bakar: 1. Harta peninggalan Nabi Muhammad, tidak dapat diwariskan kepada
Fatimah (satu-satunya ahli waris), meskipun sesuai an-Nisa (4): 11[14],
dia berhak. Menurut Abu bakar ayat ini ditakhsis oleh hadis: نحن معاشر الانبياء
لانورث, ماتركناه صدقة ; 2. Bagian waris untuk nenek = 1/6 (keputusan ini
setelah Abu Bakar bertanya pada al-Mughirah ibn Syu’bah dan dikuatkan oleh
Muhammad ibn Musalamah).
Umar ibn al-Khathab dikenal banyak
melakukan ijtihad dan sangat hati-hati dalam menerima hadis[15].
Di antara ijtihad Umar adalah: 1. Tarawih secara berjamaah hukumnya mandub
(jaman Nabi secara munfarid); 2. Pembagian pusaka Gharawain (ahli warisnya
terdiri dari suami/isteri, ibu dan ayah). Menurut ibn Abbas, ibu dalam kedua
kasus tersebut mendapat 1/3. Alasannya dalam an-Nisa ayat 11, bagian ibu yang
bersama ayah adalah 1/3 bila yang mati tidak punya anak. Sementara Umar, Usman,
Zaid ibn Tsabit, dan ibn Mas’ud berpendapat ibu dalam kedua kasus itu
memperoleh 1/3 dari sisa. Alasannya an-Nisa (4): 11, bahwa laki-laki dengan
berbagai posisi dalam struktur keluarga, mendapat 2X lipat dari bagian
perempuan; 3. Talak tiga yang diucapkan sekaligus dihukumi talak tiga (padahal
menurut riwayat Muslim dan Ahmad dari Ibnu Abbas, pada zaman Nabi sampai dua
tahun pertama kekhalifahan Umar, dihukumi talak satu).
Usman ibn Affan hasil ijtihadnya,
isteri yang dicerai suaminya yang sedang sakit kemudian mati karena sakitnya,
isteri mendapatkan pusaka—baik masih masa iddah/tidak, sedangkan menurut Umar,
isteri bisa mewarisi selama masih masa iddah.
Ali ibn Abi Thalib, ijtihadnya: 1.
Peminum khamr dicambuk/dera 80 X (qiyas ke qadzaf, mabuk akan gampang menuduh);
2. Mimbariyah, berkaitan dengan pertanyaan bagian waris untuk isteri (a.w-nya
isteri, bapak/ibu, dan dua anak perempuan), Ali menjawab dari mimbarnya, 1/9
(karena mengalami aul); 3. Sumpah/akad talak yang dibarengi dengan syarat
adalah tidak sah (dikaitkan dengan tidak memberi nafkah 1 bln).
[1]
Perempuan sangat dilecehkan; perempuan dapat diwariskan (nikah maqthu), dan
tidak memperoleh harta pusaka.
[2]
Perbaikan akidah untuk menyelamatkan ummat Islam dari kebiasaan buruk
sebelumnya seperti: berperang/membunuh, zina, mengubur anak perempuan
hidup-hidup. Mereka juga diharapkan dapat menegakkan keadilan, kebaikan, dan
tolong-menolong dalam kebaikan.
[3]
Menurut ‘Abd al-Wahhab Khallaf, ahkam yang terkandung dalam al-Qur’an meliputi
hukum keyakinan (ahkam al-I’tiqadiyah), hukum akhlaq (ahkam al-khuluqiyyah),
dan hukum amaliyah. Jadi secara garis besar hukum dalam al-Quran dibedakan
menjadi dua: Ibadah dan muamalah. Muamalah adalah hukum yang bertujuan membangun
keselarasan hubungan manusia dengan manusia yang mencakup hukum
keluarga—al-ahwal asyakhshiyyah (mengatur hubungan individu dengan individu
dalam keluarga dan kekerabatan, 70 ayat); hukum kebendaan—ahkam
madaniyyah (mengatur tukar menukar harta seperti ijarah, rahn, kafalah,
dan syirkah (70 ayat); hukum jinayah; lembaga peradialn (ahkam murafa’at, hukum
yang mengatur syarat-syarat hakim, saksi, dan sumpah, 10 ayat); hukum dusturi,
berhubungan dengan interaksi antara pemimpin dengan rakyat, 10 ayat; Al-ahkam
ad-dauliyyah (hubungan kenegaraan-antarnegara regional maupun internasional, 25
ayat; dan hukum ekonomi/al-ahkam al-iqtishadiyyah wal-maliyyah, 10 ayat. Atau
ayat hukum berjumlah 368 ayat, dari jumlah tersebut, hanya 228 ayat (3,5%) yang
berkenaan dengan kemasyarakatan.
[4]
Poligami mengandung dua arti, poligini (suami beristri banyak dan poliandri).
George Whitecross Paton, menjelaskan, pada awalnya mnusia melakukan
persetubuhan secara bebas, tanpa ada paksaan. Fase kedua dilakukan melalui
poliandri, ketiga poligini, dan fase terakhir monogami. Menurut Friederick
Engels, evolusi perkawinan adalah: perkawinan masyarakat liar (sekelompok
lelaki mengawini sekelompok perempuan/perkawinan antarkampung), perkawinan
masyarakat Barbar (lelaki dan perempuan menikah tapi masing-masing
mempunyai suami/isteri yang lain/cadangan), dan perkawinan masyarakat beradab
(monogami).
[5]
Dalam kitabnya al-Fishal fi al-Milal wal-Ahwa wa an-Nihal, ibn Hazm berkata:
kadang-kadang para Nabi bermaksud memutuskan/mengerjakan sesuatu untuk
mendapatkan ridha Allah, tetapi ternyata keputusan/pekerjaannya itu tidak
sesuai dengan kehendak Allah, seperti peristiwa perceraian Zaid-Zainab, dan peristiwa
Ibnu Umi Maktum.
[6] öÏÿøótGó$# öNçlm; ÷rr& w
öÏÿøótGó¡n@ öNçlm; bÎ) öÏÿøótGó¡n@ öNçlm; tûüÏèö7y Zo§sD `n=sù tÏÿøót ª!$#
öNçlm; 4 y7Ï9ºs öNåk¨Xr’Î/ (#rãxÿ2 «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur 3 ª!$#ur w
Ïöku tPöqs)ø9$# tûüÉ)Å¡»xÿø9$# ÇÑÉÈ
[7]
Karena berijtihad, ada kemungkinan Nabi melakukan kesalahan. Menurut ulama
Syafi’iyyah, Nabi tidak akan salah, sedangkan al-Juba’i dan Mu’tazilah, Nabi
bisa salah tetapi kemudian ditegur oleh Allah atau Sahabatnya.
[8]
Berdasarkan ijtihadnya, perintah Rasul supaya sahabat melakukan perjalanan
secara cepat sehingga bisa sampai sebelum waktu ashar habis. Nah sebagian lagi
berpegang pada makna tersurat perintah Rasul. Menurut Ibn al-Qayyim
al-Jawziyyah, mereka adalah ahl az-zahir (shalat di Quraizhah) dan ahl al-ma’na
pertama.
[9]
Abu Bakar merespon usul Umar untuk mengumpulkan al-Qur’an berdasarkan
bahan-bahan yang ada—catatan dan hafalan. Hal ini karena banyak sekali Sahabat
penghafal al-Qur’an syahid di perang Yamamah (1000 orang). Awalnya Abu Bakar
menolak usul Umar karena Rasulullah tidak melakukan/memerintahkannya. Tapi
akhirnya karena kebutuhan al-Qur’an disusun juga. Sahabat yang paling intens
keterlibatannya adalah Zaid ibn Tsabit, karena beliau adalah sekretaris Nabi.
[10]
Persoalan Sunnah berasal dari dua arah, dari umat Islam yang telah melakukan
kesalahan dan perubahan—tahrif—Sunnah tanpa bermaksud mengubahnya karena
lupa/keliru dalam menerima/menyampaikannya, dan dari kaum munafik yang sengaja
melakukan pendustaan dan kebatilan Sunnah dengan maksud merusak agama Islam.
Maka langkah para sahabat adalah berhati-hati dalam meriwayatkan hadis,
mencegah menuliskan hadis karena khawatir tercampur dengan al-Qur’an (ini
terjadi pada ahl kitab yang menulis kitab penyerta selain kitab sucinya,
sehingga kitab suci jadi ditinggalkan). Tapi masih ada yang menulis hadis dalam
lembaran-lembaran, yaitu Jabir.
[11]
Kelompok pertama, Syi’ah, yang memandang otoritas itu setelah wafatnya Rasul
dipegang oleh ahlul bait. Kelompok ini tidak memperoleh kesulitan dalam
menghadapi terhentinya wahyu karena masih ada pewaris Nabi yang terjaga dari
kesalahan (maksum) dan mengetahui makna al-Qur’an, sedangkan kelompok kedua
ahlus Sunnah/ Sunni. Menurut mereka sebelum meninggal Rasul tidak menentukan
dan tidak menunjuk penggantinya yang dapat menafsirkan dan menetapkan perintah
Allah. Al-Qur’an dan Sunnah-lah sumber untuk menarik hukum berkenaan dengan
masalah yang timbul.
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt
£`ÎgÅ¡àÿRr‘Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4
[13]
Atau karena dua ketentuan yang disebabkan oleh dua sebab yang berbeda tanpa
antisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab tersebut.
[14] ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû
öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS
s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur
$ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷uqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB
x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3t ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur
çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù
â¨ß¡9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qã !$pkÍ5 ÷rr& Aûøïy 3 öNä.ät!$t/#uä
öNä.ät!$oYö/r&ur w tbrâôs? öNßgr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4
ZpÒÌsù ÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÊÊÈ
[15]
Kehati-hatian Umar dalam menerima hadis seperti ketika Zaid ibn Tsabit berfatwa
bahwa pertemuan dua khitan (tanpa keluar mani) sudah menjadi sebab wajibnya
mandi junub. Zaid ditanya oleh Umar. Zaid menjawab, “Aku tidak mengerjakan hal
itu, tetapi aku mendengar hadis itu dari pamanku”. Hal itu lalu ditanyakan
kepada Rifa’ah ibn Rafi’; dan akhirnya Umar mengumpulkan Muhajirin dan Anshar
untuk membicarakan hadis itu, ternyata tidak ada yang mengetahui hadis itu.
Lalu Umar menyuruh bertanya pada Hafshah (isteri Nabi), Hafsah tidak tahu juga.
Kemudian ditanyakan pada Aisyah, dia berkata: Apabila dua khitan telah bertemu,
maka keduanya wajib mandi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar