Sabtu, 29 Desember 2012

HUKUM ISLAM PADA MASA RASULULLAH


Hukum Islam Pada Masa Rasulullah dan Sahabat
Hukum Islam Pada Masa Rasulullah (dari Bi’thah- 11 H./610-632 M.)
  1. Kehidupan Bangsa Arab Pra-Islam
Ciri utama tatanan masyarakatnya: menganut paham kesukuan (qabilah/klan); tata sosial politik tertutup (partisipasi warga terbatas; faktor keturunan lebih penting daripada kemampuan); mengenal hierarki sosial yang kuat, dan merendahkan perempuan.
Masyarakat pra-Islam juga telah mengenal jabatan-jabatan penting, seperti yang dipegang oleh Qushayy ibn Qilab pada pertengahan abad V. Dalam rangka memelihara ka’bah, ada jabatan sbb: hijaba (juru kunci), siqaya (penyedia air tawar dan minuman keras dari kurma), rifadla (pemberi makan), nadwa (pemimpin rapat tahunan), liwa (pemegang bendera tanda sedang menghadapi musuh), dan qiyada (pemimpin pasukan)
Dari segi akidah, bangsa Arab pra-Islam percaya kepada Allah sebagai pencipta. Mereka tahu dari risalah samawiyah –ibrahim dan Ismail. Namun kemudian mengalami transformasi (Baca: penyimpangan) dengan menyembah berhala, pohon, binatang, dan jin sebagai penyerta Allah (syirik). Mereka juga tidak percaya pada hari kiamat dan kebangkitan (al-Mu’minun [23]: 37). Tapi masih ada yang mempertahankan akidah monoteisme (al-hunafa), seperti Umar ibn Nufail dan Zuhair ibn Abi Salma.
Dalam bidang hukum, mereka memakai adat (adat menjadi sumber hukum). Dalam perkawinan, ada model istibdla (suami menyuruh istrinya berjimak dengan lelaki terpandang untuk mendapatkan keturunan ‘terhormat’); poliandri (perempuan dengan banyak lelaki, setelah melahirkan tinggal menunjuk lelaki mana yang menjadi bapaknya); maqthu (lelaki menikahi ibu tirinya setelah bapaknya mati—jika si anak masih kecil, ibu harus menungggu si anak dewasa dan menentukan pilihannya, ibu tidak boleh menolak); badal (tukar menukar istri tanpa cerai); dan shighar (wali menikahkan anak/saudaranya tanpa mahar). Di bidang hukum keluarga, boleh berpoligini dengan jumlah tanpa batas, perempuan dan anak kecil tidak dapat menerima warisan.[1] Dalam muamalah, dibolehkan mubadalah (barter), munabadah (jual beli dengan cara melempar batu, yang terkena berarti harus dibeli), kerjasama pertanian, dan riba.
  1. Tasyri’ Mekah dan Madinah
Hukum Islam masa Nabi dibedakan menjadi dua fase, Mekah dan Madinah. Ciri masyarakat Islam fase Mekah adalah: jumlahnya sangat kecil, lemah dibandingkan para penentangnya, dan dikucilkan (ekonomi diblokade—embargo). Karena sebelumnya masyarakat banyak yang menyembah berhala, langkah pertama Nabi adalah memperbaiki akidah (risalah tauhid)[2], di mana akidah merupakan pondasi amaliah ibadah.
Sedangkan ciri masyarakat Islam fase Madinah adalah: a. Tidak lagi lemah, banyak dan berkualitas, b. Mengeliminasi permusuhan dalam rangka mengesakan Allah, c. ada ajakan untuk mengamalkan syari’at Islam untuk memperbaiki hidup berrmasyarakat, dan d. membentuk aturan damai dan perang. Maka risalah yang disampaikan adalah hukum kemasyarakatan yang mencakup muamalah, jihad, jinayat, mawaris, wasiyat, talak, sumpah, dan peradilan.
Dalil hukum pada masa Rasulullah adalah al-Qur’an (al-wahy al-matluww)[3] dan as-Sunnah (al-wahy ghair al-matluww), serta ijtihad (Nabi maupun Sahabat).
Akomodasi Hukum Islam (al-Qur’an) terhadap Adat
Al-Qur’an mengakomodir hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Arab pra-Islam, sifatnya tawaran perbaikan—pembatalan maupun perubahan, seperti:
  1. Hukum poligini[4]. Poligini dibatasi maksimal empat isteri. Poliandri haram.
  2. Syarat-syarat Penerimaan Harta Pusaka
Dalam tradisi nenek moyang penduduk Arab pra-Islam ketentuan utama penerimaan harta pusaka adalah: anak yang belum dewasa dan perempuan tidak boleh menerima. Adapun syarat mempusakai adalah: 1. Pertalian kerabat (qarabah), 2. Janji setia (muhalafah), dan 3. Adopsi (tabanni). Pada zaman awal Islam (barusan Hijrah), selain karena pertalian nasab/qarabah, juga karena adopsi, hijrah, dan mu’akhakh (persaudaraan muhajirin-anshar). Akomodasi al-Qur’an adalah dengan menjadikan perempuan sebagai anggota keluarga yang mendapatkan waris dan dibatalkannya sebab adopsi untuk saling mewarisi.
  1. Ijtihad Nabi Muhammad SAW
Apa Nabi berijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash dari Allah? Ada perbedaan pendapat: ulama Asy’ariyah dan kebanyakan ulama Mu’tazilah, Nabi tidak boleh berijtihad tentang amaliyah halal-haram; ulama ushul—Abu Yusuf al-Hanafi dan asy-Syafi’i membolehkannya, sedang sebagian sahabat asy-Syafi’i yaitu al-Qadli ‘Abd al-Jabar dan Abu Hasan al-Bashri berpendapat Nabi berijtihad dalam masalah perang, bukan dalam bidang hukum. Sebagian yang lain berpendapat, Nabi tidak berijtihad sebab perkataan, perbuatan, dan ketetapannya adalah as-Sunnah yang berdasarkan wahyu juga.
Ikhtilaf itu memunculkan berbagai komentar, di antaranya ulama Mesir, Muhammad Salam madkur, menurutnya Nabi melakukan ijtihad tentang urusan dunia (bukan ibadah mahdhah). Ibn Hazm[5], Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun, dan al-Kamal ibn al-Hamam, Nabi melakukan ijtihad. Salah satu contohnya adalah panggilan dan pemberitahuan shalat. Al-Qadli ‘Iyadh berpendapat bahwa Nabi berijtihad dalam masalah duniawi, contohnya strategi perang khandaq, dan ternyata ditolak oleh kaum Anshar.
‘Abd Jalil ‘Isa mengungkapkan beberapa contoh ijtihad Nabi:
  1. Cara memperlakukan anak-anak musyrikin yang ikut berperang, Nabi menjawab, “seperti bapak-bapaknya”.
  2. Qiblat ke Bait al-Maqdis (16-17 bln) sebelum ditetapkan ke arah Ka’bah
  3. Abdullah ibn Ubai (tokoh munafik) yang meminta Nabi memintakan ampun, Nabi menyanggupi dan memohon agar ia diberi petunjuk, tapi kemudian malah turun at-Tawbah (9): 80[6].
  4. Khawalah binti Tsa’labah bertanya tentang suaminya (Aus ibn Shamit) yang telah zhihar, Nabi menjawab: “kamu haram bagi suamimu yang telah zhihar”, berarti zhihar = cerai. Kemudian Allah turunkan al-Mujadilah (28): 1-4. Zhihar tidak termasuk talak, tetapi ybs harus melakukan kafarat zhihar, yaitu memerdekakan budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang fakir miskin, sebelum bercampur kembali dengan isterinya[7].
  5. Ijtihad Sahabat pada Masa Nabi
Sahabat yang melakukan ijtihad adalah mereka yang diutus menjadi qadli atau hakim, yaitu Ali ibn Abi Thalib (ke Yaman), Mu’adz ibn Jabal (Yaman), dan Khudzaifah al-Yamani yang diutus Nabi untuk menyelesaikan sengketa dinding antara tetangga yang sama-sama mengakui miliknya. Ijtihad Sahabat pada masa Nabi antara lain:
  1. Suatu hari para Sahabat berkunjung ke Bani Quraizhah. Nabi berpesan” la yushalliyanna ahadukum al-ashra illa fi bani quraizhah-jangan sekali-kali kamu melaksanakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah”, ternyata belum sampai, waktu ashar hampir habis. Ada yang shalat di jalan[8], ada yang tetap dengan pesan Nabi (shalat di Bani Quraizhah). Ketika berita ikhtilaf tersebut disampaikan kepada Nabi, beliau membenarkan keduanya.
  2. Dua orang sahabat melakukan perjalanan. Waktunya shalat tidak ada air.mereka tayamum dan shalat. Setelah shalat mereka mendapatkan air. Seorang berwudhu dan mengulang shalat, sedang yang seorang lagi tidak. Mereka lalu menghadap Nabi, Nabi berkata kepada yang tidak mengulangi shalat “Ashabta as-Sunnah, Engkau mengerjakan sesuai sunnah”, sedang kepada yang mengulangi shalat, Nabi bersabda: “al-Ajr marratain, Engkau dapat pahala dua kali”.
Hukum Islam pada Zaman Sahabat (Khulafa Rasyidun, 11-40 H./632-661 M.)
  1. Pengaruh Fatwa terhadap Perkembangan Hukum
Ada beberapa persoalan yang dihadapi sahabat, di antaranya: 1. Khawatir kehilangan al-Qur’an karena banyak sahabat yang wafat[9], 2. Khawatir terjadinya ikhtilaf terhadap al-Qur’an seperti ikhtilaf Yahudi dan Nasrani terhadap Injil, 3. Takut terjadi pembohongan terhadap Sunnah Rasul[10], 4. Khawatir umat Islam akan menyimpang dari Hukum Islam, dan 5. Perkembangan kehidupan memerlukan ketentuan syari’at, dan tidak semua ada ketentuannya dalam nash.
Dalam menghadapi persoalan tersebut, mereka menentukan langkah-langkah dalam berijtihad. Langkah ijtihad—istinbat al-ahkam—Abu Bakar adalah: Mencari ketentuan hukum dalam al-Qur’an, jika ada langsung diterapkan. Jika tidak ada, mencari dalam as-Sunnah. Jika dalam as-Sunnah tidak ada, bertanya pada sahabat apakah ada keputusan Rasul. Jika ternyata tidak ada sahabat yang memberikan jawaban, maka ia mengumpulkan para pembesar sahabat dan bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Begitu juga yang dilakukan Umar. Sebelum mengumpulkan sahabat untuk bermusyawarah ia bertanya apakan Abu Bakar telah memutuskan kasus yang sama? Jika ya, tinggal mengikuti keputusan itu, jika tidak ada, ia mengumpulkan sahabat. Berikut wasiyat Umar kepada Syuraih (qadli/hakim): “Berpeganglah kepada al-Qur’an dalam menyelesaikan kasus; jika tidak ada, berpeganglah pada as-Sunnah; jika tidak ada juga, berijtihadlah!’. Kepada Musa al-Asy’ari Umar berkata: “Kamu wajib memahami apa yang ada dalam pikiranmu terhadap perkara yang tidak ada ketentuannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Kenalilah persamaan-persamaan, kemudian analogikanlah kasus yang sedang kamu hadapi; berpeganglah pada yang paling disenangi Allah dan yang paling dekat pada kebenaran menurut pemikiranmu”.
Pengaruh fatwa terhadap perkembangan HI adalah:
  1. Sahabat menelaah al-Qur’an dan Sunnah dalam menyelesaikan kasus. Jika tidak ada, baru melakukan ijtihad. Hasil ijtihad ini disebut fatwa, yi pendapat yang muncul karena adanya peristiwa yang terjadi.
  2. Sahabat telah menentukan dan menggunakan thuruq al-istinbat dalam menyelesaikan kasus.
Jadi sumber hukum Islam pada masa sahabat adalah al-Qur’an, Sunnah, dan ijtihad (ra’yu).
  1. Sebab-sebab Ikhtilaf pada zaman Sahabat
Sahabat berbeda pendapat dalam menyelesaikan suatu kasus karena mereka tidak terjaga dari kekeliruan. Di samping itu juga ada dua pandangan mengenai otoritas kepemimpinan umat Islam (sekaligus otoritas penetapan hukum)[11]. Ada tiga sebab ikhtilaf, yaitu: karena sifat al-Qur’an, sifat Sunnah, dan karena penggunaan ra’yu. Sebab al-Qur’an di antaranya:
  1. Kata/lafad yang bermakna ganda/isytirak. Al-Baqarah (2): 228[12]. Kata quru’ mengandung dua arti: al-haid dan at-Tuhr. Menurut Umar, haid; sedangkan Zaid ibn Tsabit, at-tuhr. Penduduk Kufah—seperti Umar, Ali, Ibn Mas’ud, Abu Musa, Mujahid, Qatadah, ad-Dlahak, Ikrimah, Ubadah ibn Shamit, dan as-Saddi—beranggapan bahwa quru = haid, sedangkan penduduk Hijaz—Aisyah, Ibn Umar, Zaid ibn Tsabit, az-Zuhri, Abbab ibn Usman—memaknainya at-Tuhr. Sebab karena watak bahasa Arab. Ijtihad takhriji (takhrij al-ahkam).
  2. Hukum yang ditentukan al-Qur’an masing-masing “berdiri sendiri” tanpa mengantisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab pada satu kasus[13]. Misalnya iddah mati, 4 bln + 10 hari (al-Baqarah [2]: 234), dan iddah hamil adalah hingga melahirkan (at-Talak [65]: 4). Bagaimana jika hamil dan ditinggal mati? Ali ibn Abi Thalib dan Ibn Abbas, iddah yang terpanjang di antara dua iddah, sedangkan menurut Abdullah ibn Mas’ud yang berlaku iddah hamil sebab ayat tentang iddah hamil diturunkan setelah ayat iddah wafat. Ini berhubungan dengan ijtihad aplikasi hukum (tathbiq al-ahkam).
Adapun sebab perbedaan karena Sunnah adalah sbb:
  1. Penguasaan Sahabat terhadap Sunnah tidak sama. Terjadi karena perbedaaan mereka dalam menyertai Nabi, ada yang intensif, ada yang awal-akhir masuk Islam.
  2. Ada riwayat telah sampai kepada seorang Sahabat tetapi belum sampai kepada yang lain, sehingga mereka menggunakan ra’yu. Contoh menurut Abu Hurairah orang yang masih junub pada waktu subuh, tidak dihitung puasa Ramadannya. Kata Aisyah, dihitung puasanya. Ia menjadikan peristiwa dengan Nabi sebagai alasannya. Abu Hurairah akhirnya menarik pendapatnya.
  3. Berbeda dalam menakwilkan Sunnah. Seperti masalah thawaf. Mayoritas sahabat berpendapat bersegera thawaf sunah, sedangkan menurut Ibn Abbas, tidak sunah.
Sedang perbedaan dalam menggunakan ra’yu, seperti perbedaaan antara Umar dan Ali tentang perempuan yang menikah dalam waktu tunggu (iddah). Umar, apabila belum dukhul, harus dipisah (selesaikan iddahnya), bila sudah dukhul, harus dipisah dan menyelesaikan dua iddah (dari suami pertama dan kedua). Ali, perempuan itu hanya diwajibkan menyelesaikan iddah yang pertama. Ali berpegang pada keumuman ayat, sedangkan Umar pada tujuan hukum, yakni agar orang tidak lagi melakukan pelanggaran.

Perkembangan Fatwa Sahabat
Sahabat yang terkenal sebagai mufti adalah Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Abbas, dan Abdullah ibn Mas’ud. Ijtihad Abu Bakar: 1. Harta peninggalan Nabi Muhammad, tidak dapat diwariskan kepada Fatimah (satu-satunya ahli waris), meskipun sesuai an-Nisa (4): 11[14], dia berhak. Menurut Abu bakar ayat ini ditakhsis oleh hadis: نحن معاشر الانبياء لانورث, ماتركناه صدقة ; 2. Bagian waris untuk nenek = 1/6 (keputusan ini setelah Abu Bakar bertanya pada al-Mughirah ibn Syu’bah dan dikuatkan oleh Muhammad ibn Musalamah).
Umar ibn al-Khathab dikenal banyak melakukan ijtihad dan sangat hati-hati dalam menerima hadis[15]. Di antara ijtihad Umar adalah: 1. Tarawih secara berjamaah hukumnya mandub (jaman Nabi secara munfarid); 2. Pembagian pusaka Gharawain (ahli warisnya terdiri dari suami/isteri, ibu dan ayah). Menurut ibn Abbas, ibu dalam kedua kasus tersebut mendapat 1/3. Alasannya dalam an-Nisa ayat 11, bagian ibu yang bersama ayah adalah 1/3 bila yang mati tidak punya anak. Sementara Umar, Usman, Zaid ibn Tsabit, dan ibn Mas’ud berpendapat ibu dalam kedua kasus itu memperoleh 1/3 dari sisa. Alasannya an-Nisa (4): 11, bahwa laki-laki dengan berbagai posisi dalam struktur keluarga, mendapat 2X lipat dari bagian perempuan; 3. Talak tiga yang diucapkan sekaligus dihukumi talak tiga (padahal menurut riwayat Muslim dan Ahmad dari Ibnu Abbas, pada zaman Nabi sampai dua tahun pertama kekhalifahan Umar, dihukumi talak satu).
Usman ibn Affan hasil ijtihadnya, isteri yang dicerai suaminya yang sedang sakit kemudian mati karena sakitnya, isteri mendapatkan pusaka—baik masih masa iddah/tidak, sedangkan menurut Umar, isteri bisa mewarisi selama masih masa iddah.
Ali ibn Abi Thalib, ijtihadnya: 1. Peminum khamr dicambuk/dera 80 X (qiyas ke qadzaf, mabuk akan gampang menuduh); 2. Mimbariyah, berkaitan dengan pertanyaan bagian waris untuk isteri (a.w-nya isteri, bapak/ibu, dan dua anak perempuan), Ali menjawab dari mimbarnya, 1/9 (karena mengalami aul); 3. Sumpah/akad talak yang dibarengi dengan syarat adalah tidak sah (dikaitkan dengan tidak memberi nafkah 1 bln).

[1] Perempuan sangat dilecehkan; perempuan dapat diwariskan (nikah maqthu), dan tidak memperoleh harta pusaka.
[2] Perbaikan akidah untuk menyelamatkan ummat Islam dari kebiasaan buruk sebelumnya seperti: berperang/membunuh, zina, mengubur anak perempuan hidup-hidup. Mereka juga diharapkan dapat menegakkan keadilan, kebaikan, dan tolong-menolong dalam kebaikan.
[3] Menurut ‘Abd al-Wahhab Khallaf, ahkam yang terkandung dalam al-Qur’an meliputi hukum keyakinan (ahkam al-I’tiqadiyah), hukum akhlaq (ahkam al-khuluqiyyah), dan hukum amaliyah. Jadi secara garis besar hukum dalam al-Quran dibedakan menjadi dua: Ibadah dan muamalah. Muamalah adalah hukum yang bertujuan membangun keselarasan hubungan manusia dengan manusia yang  mencakup hukum keluarga—al-ahwal asyakhshiyyah (mengatur hubungan individu dengan individu dalam keluarga dan kekerabatan, 70 ayat); hukum kebendaan—ahkam  madaniyyah (mengatur tukar menukar harta seperti ijarah, rahn, kafalah, dan syirkah (70 ayat); hukum jinayah; lembaga peradialn (ahkam murafa’at, hukum yang mengatur syarat-syarat hakim, saksi, dan sumpah, 10 ayat); hukum dusturi, berhubungan dengan interaksi antara pemimpin dengan rakyat, 10 ayat; Al-ahkam ad-dauliyyah (hubungan kenegaraan-antarnegara regional maupun internasional, 25 ayat; dan hukum ekonomi/al-ahkam al-iqtishadiyyah wal-maliyyah, 10 ayat. Atau ayat hukum berjumlah 368 ayat, dari jumlah tersebut, hanya 228 ayat (3,5%) yang berkenaan dengan kemasyarakatan.
[4] Poligami mengandung dua arti, poligini (suami beristri banyak dan poliandri). George Whitecross Paton, menjelaskan, pada awalnya mnusia melakukan persetubuhan secara bebas, tanpa ada paksaan. Fase kedua dilakukan melalui poliandri, ketiga poligini, dan fase terakhir monogami. Menurut Friederick Engels, evolusi perkawinan adalah: perkawinan masyarakat liar (sekelompok lelaki mengawini sekelompok perempuan/perkawinan antarkampung), perkawinan masyarakat Barbar (lelaki dan perempuan menikah tapi masing-masing  mempunyai suami/isteri yang lain/cadangan), dan perkawinan masyarakat beradab (monogami).
[5] Dalam kitabnya al-Fishal fi al-Milal wal-Ahwa wa an-Nihal, ibn Hazm berkata: kadang-kadang para Nabi bermaksud memutuskan/mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan ridha Allah, tetapi ternyata keputusan/pekerjaannya itu tidak sesuai dengan kehendak Allah, seperti peristiwa perceraian Zaid-Zainab, dan peristiwa Ibnu Umi Maktum.
[6] öÏÿøótGó™$# öNçlm; ÷rr& Ÿw öÏÿøótGó¡n@ öNçlm; bÎ) öÏÿøótGó¡n@ öNçlm; tûüÏèö7y™ Zo§sD `n=sù tÏÿøótƒ ª!$# öNçlm; 4 y7Ï9ºsŒ öNåk¨Xr’Î/ (#rãxÿŸ2 «!$$Î/ ¾Ï&Î!qß™u‘ur 3 ª!$#ur Ÿw “ωöku‰ tPöqs)ø9$# tûüÉ)Å¡»xÿø9$# ÇÑÉÈ
[7] Karena berijtihad, ada kemungkinan Nabi melakukan kesalahan. Menurut ulama Syafi’iyyah, Nabi tidak akan salah, sedangkan al-Juba’i dan Mu’tazilah, Nabi bisa salah tetapi kemudian ditegur oleh Allah atau Sahabatnya.
[8] Berdasarkan ijtihadnya, perintah Rasul supaya sahabat melakukan perjalanan secara cepat sehingga bisa sampai sebelum waktu ashar habis. Nah sebagian lagi berpegang pada makna tersurat perintah Rasul. Menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, mereka adalah ahl az-zahir (shalat di Quraizhah) dan ahl al-ma’na pertama.
[9] Abu Bakar merespon usul Umar untuk mengumpulkan al-Qur’an berdasarkan bahan-bahan yang ada—catatan dan hafalan. Hal ini karena banyak sekali Sahabat penghafal al-Qur’an syahid di perang Yamamah (1000 orang). Awalnya Abu Bakar menolak usul Umar karena Rasulullah tidak melakukan/memerintahkannya. Tapi akhirnya karena kebutuhan al-Qur’an disusun juga. Sahabat yang paling intens keterlibatannya adalah Zaid ibn Tsabit, karena beliau adalah sekretaris Nabi.
[10] Persoalan Sunnah berasal dari dua arah, dari umat Islam yang telah melakukan kesalahan dan perubahan—tahrif—Sunnah tanpa bermaksud mengubahnya karena lupa/keliru dalam menerima/menyampaikannya, dan dari kaum munafik yang sengaja melakukan pendustaan dan kebatilan Sunnah dengan maksud merusak agama Islam. Maka langkah para sahabat adalah berhati-hati dalam meriwayatkan hadis, mencegah menuliskan hadis karena khawatir tercampur dengan al-Qur’an (ini terjadi pada ahl kitab yang menulis kitab penyerta selain kitab sucinya, sehingga kitab suci jadi ditinggalkan). Tapi masih ada yang menulis hadis dalam lembaran-lembaran, yaitu Jabir.
[11] Kelompok pertama, Syi’ah, yang memandang otoritas itu setelah wafatnya Rasul dipegang oleh ahlul bait. Kelompok ini tidak memperoleh kesulitan dalam menghadapi terhentinya wahyu karena masih ada pewaris Nabi yang terjaga dari kesalahan (maksum) dan mengetahui makna al-Qur’an, sedangkan kelompok kedua ahlus Sunnah/ Sunni. Menurut mereka sebelum meninggal Rasul tidak menentukan dan tidak menunjuk penggantinya yang dapat menafsirkan dan menetapkan perintah Allah. Al-Qur’an dan Sunnah-lah sumber untuk menarik hukum berkenaan dengan masalah yang timbul.
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr‘Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 
[13] Atau karena dua ketentuan yang disebabkan oleh dua sebab yang berbeda tanpa antisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab tersebut.
[14] ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þ’Îû öNà2ω»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üu‹sVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. Zoy‰Ïmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷ƒuqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7‰Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß‰¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3tƒ ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍ‘urur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=›W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß‰¡9$# 4 .`ÏB ω÷èt/ 7p§‹Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur Ÿw tbrâ‘ô‰s? öNßg•ƒr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇÊÊÈ
[15] Kehati-hatian Umar dalam menerima hadis seperti ketika Zaid ibn Tsabit berfatwa bahwa pertemuan dua khitan (tanpa keluar mani) sudah menjadi sebab wajibnya mandi junub. Zaid ditanya oleh Umar. Zaid menjawab, “Aku tidak mengerjakan hal itu, tetapi aku mendengar hadis itu dari pamanku”. Hal itu lalu ditanyakan kepada Rifa’ah ibn Rafi’; dan akhirnya Umar mengumpulkan Muhajirin dan Anshar untuk membicarakan hadis itu, ternyata tidak ada yang mengetahui hadis itu. Lalu Umar menyuruh bertanya pada Hafshah (isteri Nabi), Hafsah tidak tahu juga. Kemudian ditanyakan pada Aisyah, dia berkata: Apabila dua khitan telah bertemu, maka keduanya wajib mandi.

pengaruh politik terhadap fatwa ulama


PENGARUH POLITIK TERHADAP FATWA ULAMA:
(Analisis Fatwa Keharaman PLTN Jepara)
Oleh: rini sarinawati

A.LATAR BELAKANG
Fatwa haram terhadap pembangunan PLTN di wilayah Jepara yang dikeluarkan oleh Lembaga Bahtsul Masail PCNU Jepara beberapa minggu terakhir, menuai badai pro-kontra. Pasalnya Fatwa LBM menyangkut persoalan PLTN ini, berkaitan dengan kebijakan negara yakni pendirian reaktor Nuklir di desa Balong Kecamatan Kembang Kab Jepara. Proyek ini diyakini dapat memasok kebutuhan listrik di negeri tercinta Indonesia.
Kelompok yang pro PLTN Jepara diwakili oleh kalangan birokratik baik di tingkat pusat maupun daerah. Karena apabila PLTN ini bisa didirikan di Jepara maka keuntungan yang diambil oleh pemerintah sangat signifikan dalam mendongkrak income negara. Tak kurang dari Menteri Ristek Prof. Dr. Kusmayanto Kadiman, sangat antusias dalam melakukan sosialisasi pembangunan PLTN di Jepara ini. Bahkan terselenggaranya Bahtsul Masail yang dilakukan oleh Lembaga Bahtsul Masail juga mendapat suntikan dana dari Menteri Ristek.
Sementara kelompok yang kontra PLTN diwakili oleh kalangan muda yang bergerak di berbagai lembaga swadaya masyarakat dan kampus. Masyarakat Reksa Bumi (Marhem) misalnya yang dikomandani oleh Lilo Sunaryo PhD, dengan lantang menyuarakan bahaya dan kesengsaraan korban PLTN di berbagai negara di dunia. Begitu juga dengan Lembaga kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam NU) yang secara intens melakukan perang terhadap rencana pembangunan PLTN Muria Jepara.
Bagi kelompok ini gambaran PLTN Muria sangat menakutkan. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa sejak muncul 1972, saat terbentuk Komisi Persiapan Pembangunan PLTN. Tiga tahun kemudian berdasarkan penelitian yang dilakukan Batan bekerja sama dengan NIRA, Italia, diperoleh 14 calon lokasi, dan lima di antaranya di Jateng. Dari 14 lokasi itu, 11 lokasi di pantai utara Jawa dan tiga di pantai selatan (www:batan.go.id).
Pada 1989, Badan Koordinasi Energi Nasional (Bakoren) memutuskan Batan melaksanakan studi kelayakan, dan terpilihlah NewJec (New Japan Engineering Consultan Inc), anak perusahaan Mitsubishi Heavy Industries (MHI) untuk melaksanakn studi tapak. Akhir 1993, NewJec melaporkannya ke Batan. Dan Ujung Lemah Abang Desa Balong, Jepara, disebut sebagai titik paling aman dari ancaman guncangan gempa bumi.
Tak hanya dari sisi lokasi, mereka juga mendekatinya dari sisi kebijakan energi. Informasi Menristek, di atas kertas harga listrik PLTN sedikit lebih murah (3,5-4 sen dolar AS per KWH) dari sumber konvensional juga menjadi rujukan, termasuk tinjauan manfaat, bahaya, dan risiko.
Pro kontra dalam proses pendiriasn PLTN Muria Jepara ini sesungguhnya merupakan representasi masyarakat dalam memandang pembangunan PLTN Muirisa Jepara. Kekhawatiran rakyat dalam pembangunan PLTN ini patut diperhatikan karena apabila di kemudian hari, terjadi mrabahaya sebagaimana terjadi di Chernobil maupun Jepang belakangan ini.
Perdebatan tentang manfaat atau maslahat tidaknya PLTN inilah yang memicu LBM PCNU Jepara berikhtiar untuk melihat nya dari kacamata Fiqh lewat forum bahtsul Masail. Hal ini wajar karena masyarakat Jepara merupakan masyarakat pantai utara yang mempunyai pemahaman keagamaan yang kuat, sehingga pendekatan keagamaan ini semakin signifikan dalam rangka mensosialisasikan hasil-hasil tehnologi mutahir seperti listrik bertenaga nuklir.
Fatwa haram yang dikeluarkan Lembaga Bahtsul Masil Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Jepara untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria, Jawa Tengah, merupakan jawaban dari ikhtiar melakukan sosialisasi PLTN di tengah masyarakat. Ijtihad para kyai NU se Kab Jepara ini pada akirnya menjadi polemik baik di kalangan elit NU maupun di kalangan masyarakat pada umumnya.
Banyak masyarakat yang gundah dengan lahirnya fatwa haram ini. Bahkan banyak juga yang memandang lucu atas munculnya fatwa haram ini. Apa korelasi antara tenaga Nuklir dengan pandangan fiqih klasik.
Untuk menjelaskan korelasi ini maka dibutuhkan pendekatan hukum akan lahirnya fatwa haram terhadap rencana pembangumna PLTN. Munculnya fatwa hukum Islam tidaklah tumbuh di tengah hutan belantara, tetapi fatwa hukum Islam muncul karena adanya berbagai rentetan kejadian yang melatar belakanginya. Dalam kaidah fiqhiyyah dikenal kaidah Taghyiru al-ahkam bi taghoyyuri al-azminati wal amkan, hukum itu berubah disebabkan perubahan zaman dan tempat (Ibn Qayyim, tt: III/3).
Hukum Islam sebagai hukum yang diambil dari nilai-nilai yang terkandung dalam dalil-dalil agama, senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan lokus dan waktu. Tidak ada unifikasi hukum Islam secara massal, yang ada adalah kesamaan substansi terhadap hukum suatu perbuatan. PLTN Jepara misaklnya yang diharamkan oleh para ulama, bukan berarti nuklir diharamkan, tetaspi yang diharamkan adalah rencana pembangun PLTN di Jepara pada waktu sekarang ini. Sebenarnya yang haram bukan nuklirnya, tapi ekses negatif yang diperhitungkan akan terjadi karena ketidakmampuan pemerintah. Sedangkan memudaratkan masyarakat, hukumnya haram, baik dari nuklir maupun dari faktor lain.
Untuk itu penelitian ini bermaksud untuk mengetahui latar belakang munculnya fatwa haram sekaligus mengetahui konsistensi lembaga bahtsul Masail NU dalam merumuskan fatwa-fatwa haram.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini; Apa yang menyebabkan pembanguna PLTN Muria Kabupaten Jepara diharamkan ? dan Bagaimana konsistensi LBM dalam merumuskan fatwa-fatwa hukum ?.
Pro dan kontra terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Muria kini telah memasuki ranah agama, setelah sejumlah ulama Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Tengah mengeluarkan fatwa haram terhadap PLTN, 1 September 2008.
Pengurus cabang NU Jepara, tuan rumah bahtsul masail yang mencetuskan fatwa haram itu, menolak pembangunan PLTN di Semenanjung Muria. Sementara itu, Pengurus Besar NU berpendapat nuklir—bukan PLTN—bersifat mubah (boleh, netral). Jadi, menghadapi penolakan warga NU di Jepara terhadap pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, PB NU mengusulkan supaya PLTN dibangun di tempat lain saja.


B. KERANGKA TEORI
1. Hukum Islam berkembang sesuai dengann tempat dan tempatnya
Tak seorang pun ahli hukum yang mampu memberikan rumusan tentang hukum secara definitif, mengingat ruang lingkupnya yang terlalu luas dan banyak aspek yang dikandungnya. Karena itu seorang tokoh hukum barat terkemuka dan ahli filsafat hukum pernah mengungkapkan bahwa tak seorangpun ahli hukum yang mampu membuat definisi tentang hukum (Rasyidi, 1993: 29). Maka wajar bila dalam literatur barat tidak ditemukan suatu rumusan hukum yang definitif dan universal (Honrnby, 1993:29).
Secara terminologis (istilahi) hukum yang dituliskan dalam penelitian ini adalah hukum Islam. Dua kata “hukum” dan “Islam” secara independen mempunyai arti yang berdiri sendiri, tetapi ketika disatukan akan membentuk satu istilah baru. Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah maupun literatur Arab lainnya, tak satu pun ayat yang menyebut arti kata hukum Islam baik secara lafdziyyah maupun istilah. Justru term hukum Islam merupakan terjemahan dari istilah yang dipakai oleh ilmuan barat “Islamic Law”. Noel J. Coulson misalnya dalam The History of Islamic Law mengartikan hukum Islam sebagai implementasi dari doktrin-doktrin yang diwahyukan Tuhan dalam kondisi sosial saat itu (Coulson, 1964:8). Sedangkan Josept Schacht mengartikan hukum Islam sebagai keseluruhan khitab Allah yang mengatur kehidupan setiap umat Islam dalam segala aspek hidupnya (Schacht,1964:6).
Dalam wacana ilmu fiqh, para ulama hanya menggunakan term “al-hukm” tanpa mengikutkan kata “al-Islam”. Istilah al-hukm atau hukum Islam mempunyai arti yang cukup distingtif antara ulama ushûl (ushûli) dengan ulama fiqh (baca : fuqaha). Jumhur ulama ushûl misalnya, mengartikan hukum sebagai:
“khitab Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtidha (tuntutan, perintah atau larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadh’i (sebab, syarat dan mani’) (Hasaballah,tt:365).
Yang dimaksud dengan khithab di sini adalah inti dari khitab Allah (al-nushush al-syariyyah) yakni kalam nafsi yang tidak berlafadz dan tak bersuara yang hanya dapat diketahui melalui indikasi dalalah lafdhiyyah dan maknawiyyah, bukan pengaruhnya (atsar) (Mahalli, 1937: I/47-48). Adapun sifat-sifat yang berupa perbuatan-perbuatan mukallaf, yang merupakan hasil atau pengaruh dari al-nushush al-syar’iyyah seperti wajib, sunnah, wajib, makruh dan haram, tidak masuk dalam definisi tersebut. Karena sesunggunhnya khitab Allah itu merupakan kalamullah. Contohnya adalah hukum “ijab” merupakan inti dari khitab “if’al” (Zuhaili,1981:I/38).
Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya I’lam al-Muwaqqiin menyatakan bahwa taghyiru al-ahkam bi tagayyuri al-azminati wa al-amkinati, hukum itu berubah sesuai dengan waktu dan tempat di mana hukum itu berada. Dengan demikian hukum Islam senantiasa dinamis sesuai dengan perkembangan masyarakatnya (Ibn Qayyim, tt: III/3).

2. Hukum terpengaruh Politik
Dalam pandangan Moh Mahfud MD, karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang melahirkannya (Mahfud, 1998:74). Untuk itu fatwa lembaga bahtsul masail juga tidak lepas dari konfigurasi politik yang mengitarinya. Banyaknya kepentingan dalam perencana pembangunan PLTN Jepara, menyebabkan rencana pembangunan PLTN ini mengalami berbagai kendala. Tidak sedikit tokoh-tokoh lokal yang ikut larut dalam pro-kontra pembangunan PLTN, akibatnya konflik antar sesama warga sangat memungkinkan.
Konteks politik pasca reformasi, sangat bepengaruh dalam pembangunan hukum Islam di Indonesia, termasuk fatwa yang dilakukan oleh berbagai organisasi masyarakat seperti NU.
Lahirnya fatwa hukum yang mengharamkan rencana pembengunan PLTN tidak bisa dipisahkan dari situasi kondisi di mana konteks sosial politik itu terjadi.
3.Pendekatan Fikih dalam Politik
Banyak masyarakat yang menyikapi rencana pembangunan PLTN Muria dengan penuh keheranan terhadap fatwa haram yang dikeluarkan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Jepara, Jawa Tengah, atas rencana pembangunan PLTN Muria. Betapa tidak, kiai-kiai "kampung" yang ada di kota kecil itu berani memberikan hukum terhadap sebuah proyek besar yang selama ini menjadi perdebatan petinggi-petinggi dunia.
Namun perlu diingat bahwa tradisi ilmiah di kalangan kyai pesantren adalah melihat persoalan dengan pendekatan fiqh (Haidar, 1988). Rencana pembangunan PLTN Muria yang dihukumi haram didasarkan kepada pendekatan fiqh, bahwa segala selalu diukur dengan mashlahat.
Jika persoalan dikembalikan ke titik nol -terbebas dari kepentingan apa pun- yang dilakukan PC NU Jepara itu bukanlah hal yang aneh atau ganjil. Dalam khazanah keilmuan Islam, khususnya pesantren, memang dikenal dasar-dasar yang bisa dijadikan acuan untuk menghukumi sesuatu, termasuk PLTN. Dasar yang digunakan adalah kemaslahatan umat (maslahah mursalah) atau kesejahteraan umum

D. TEMUAN-TEMUAN PENELITIAN
Dari penelitian yang penulis lakukan, maka didaptkan beberapa tekuan-teuan ilmiah yang berkaitan dengan tema utama, di antaranya:
1. Pergeseran Makna Fatwa
a)Substansi Fatwa
Fatwa sering diartikan sebagai hukum yang ditetapkan oleh sebuah lembaga keagamaan, baik NU, Muhammadiyah maupun Majelis Ualam Indonesia (MUI). Tidak sedikit masyarakat yang memandang fatwa ini sebagai penerjemahan dari peraturan-peraturan keagamaan yang diyakini kebenarannya. Akibatnya ketika ada fatwa apapun fatwanya seperti fatwa keharaman menabung di Bank Konvensional oleh MUI misalnya, masyarakat merasa berkeawajiban untuk ikut serta merealisasikan dalam dunia perbankan di Indonesia.
Pengertian fatwa dalam perspektif hukum Islam, ada dua pengertian yakni lafdiyah maupun istilahi. Secara lafdziyah (gramatikal) fatwa berarti suatu perkataan dari bahasa Arab yang memberi arti pernyataan hukum mengenai sesuatu masalah yang timbul kepada siapa yang ingin mengetahuinya. Menurut kamus Lisan al-Arabi, Aftahu fi al-amri Abana Lahu (“Memberi fatwa tentang sesuatu perkara bererti menjelaskan kepadanya”).
Sepertimana Firman Allah s.w.t. di dalam Surah An-Nisa ayat 176
Maksudnya : Mereka (orang-orang Islam umatmu) meminta fatwa kepadamu (wahai Muhammad, mengenai masalah Kalalah). Katakanlah : Allah memberi fatwa kepada kamu dalam perkara Kalalah itu
Sedangkan dalam pengertian istilahi, fatwa berarte pendapat para ulama (mufti) yang mempunyai keahlian dalam hukum Islam tentang aturan-aturan yang diinterpretasikan dari hukum-hukum Allah.
Imam Syatibi sebagaimana dikutif Wahbahmenyatakan:
Innal Mufti Qaimun maqaman Nabi SAW li annal ulama waratsatul anbiya yadullu alaihi al-haditsu syarif “lia annal ulama waratsatul anbiya, wal anbiyaa lam yuratsu dinaran wala dirhaman wa innama waratsul ilma. (Wahbah:1981)
(Artinya: Kedudukan Mufti di kalangan umat ialah pengganti tempat Nabi s.a.w. kerana Ulama’ itu mempusakai tugas para Nabi sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Hadis Rasulullah s.a.w. yang bermaksud : “Sesungguhnya Ulama’ itu adalah pewaris para Nabi dan Nabi tidak meninggalkan pusaka dinar dan dirham, tetapi mereka meninggalkan pusaka ilmu).
Fatwa berarti produk yang dihasilkan sedangkan orang yang mengeluarkan fatwa adalah mufti. Tidaklah sembarangan orang yang menjadi mufti, karena persyaratan mufti di antaranya memahami teks-teks inti dan klasik hukum Islam lainnya. Namun dalam pengertian hukum Islam, fatwa itu berbeda dengan hukum, karena fatwa itu bersifat mandiri sedangkan hukum bersifat kelembagaan.
Dalam Islam, ada semacam kebebasan berfatwa, yang memperlihatkan betapa diskursus agama memberikan ruang gerak bagi perbedaan dalam merumuskan fatwa. Setiap orang bebas memberikan pilihan kepada fatwa tertentu atau mencabutnya. Biasanya fatwa yang mendapat dukungan luas adalah fatwa yang isinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekaligus tetap dalam koridor kebenaran. Sementara itu, fatwa yang kaku dan jauh dari realitas kehidupan masyarakat tidak banyak diminati masyarakat, akibatnya fatwa-fatwa tersebut akan lenyap dengan sendirinya.
Dalam tradisi Islam, tak ada sebuah fatwa yang benar-benar diikuti oleh semua penganut Islam. Sebuah fatwa bisa saja dibantah oleh fatwa lain. Dalam kaidah hukum Islam, sejumlah fatwa tidak bisa saling membatalkan (al-ijtihâd la yunqadlu bi al-ijtihâd) (Zarqa, 1989:155). Hukum A tidak bisa dibantah dengan hukum b. Setiap fatwa hukum berlaku dengan sendirinya kepada orang. Inilah watak dari fatwa yang sesungguhnya.
Secara etimologi hukum berasal dari kata “al hukm” yang berarti ‘menetapkan’ atau ‘ketetapan’, ‘memutuskan’ atau ‘keputusan’ yang menetapkan sesuatu pada yang lain, seperti menetapkan hukum haram pada minuman yang memabukkan dan hukum halal pada air susu. Dalam istilah hukum islam, term lain seperti fiqh dan syari’ah sering digunakan.
Dua kata “hukum” dan “Islam” secara independen mempunyai arti yang berdiri sendiri, tetapi ketika disatukan akan membentuk satu istilah baru. Dalam al Qur’an dan As Sunnah maupun literatur Arab lainnya, tak satu pun ayat yang menyebut arti kata hukum Islam baik secara lafdziyyah maupun istilah. Justru term hukum Islam merupakan terjemahan dari istilah yang dipakai oleh ilmuan barat “Islamic Law” (Coulson,1964:8).
Dalam wacana ilmu fiqh, para ulama hanya menggunakan term “al hukm” tanpa mengikutkan kata “al Islam”. Istilah al-hukm atau hukum islam mempunyai arti yang cukup distingtif antara ulama ushul (ushuli) dengan ulama fiqh (baca: fuqaha). Jumhur ulama ushul misalnya, mengartikan hukum sebagai:
خطاب الله تعالى المتعلق با فعال المكلفين بالاقتضاء او التخيير اوالوضع
Artinya: Khitab allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtidha (tuntutan, perintah atau larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadh’i (sebab, syarat dan mani’) (al Amidi, 1981:I/49).


1.Fatwa PLTN Muria Jepara
a)PLTN Isu Aktual dan Politis
Proses rencana pembangunan PLTN di Indonesia cukup panjang. Tahun 1972, telah dimulai pembahasan awal dengan membentuk Komisi Persiapan Pembangunan PLTN. Komisi ini kemudian melakukan pemilihan lokasi dan tahun 1975 terpilih 14 lokasi potensial, 5 di antaranya terletak di Jawa Tengah. Lokasi tersebut diteliti BATAN bekerjasama dengan NIRA dari Italia. Dari keempat belas lokasi tersebut, 11 lokasi di pantai utara dan 3 lokasi di pantai selatan.
Pada Desember 1989, Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN) memutuskan agar BATAN melaksanakan studi kelayakan dan terpilihlah NewJec (New Japan Enginereering Consoltan Inc) untuk melaksanakan studi tapak dan studi kelayakan selama 4,5 tahun, terhitung sejak Desember 1991 sampai pertengahan 1996.
Pada 30 Desember 1993, NewJec menyerahkan dokumen Feasibility Study Report  (FSR) dan Prelimintary Site Data Report ke BATAN. Rekomendasi NewJec adalah untuk bidang studi non-tapak, secara ekonomis, PLTN kompetitif dan dapat dioperasikan pada jaringan listrik Jawa – Bali di awal tahun 2000-an. Tipe PLTN direkomendasikan berskala menengah, dengan calon tapak di Ujung Lemahabang,  Grenggengan, dan Ujungwatu.
PLTN adalah pembangkit tenaga listrik tenaga nuklir yang merupakan kumpulan mesin untuk pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan tenaga nuklir sebagai tenaga awalnya. Prinsip kerjanya seperti uap panas yang dihasilkan untuk menggerakkan mesin yang disebut turbin.
Reaktor nuklir sangat membahayakan dan mengancam keselamatan jiwa manusia. Radiasi yang diakibatkan oleh reaktor nuklir ini ada dua. Pertama, radiasi langsung, yaitu radiasi yang terjadi bila radio aktif yang dipancarkan mengenai langsung kulit atau tubuh manusia. Kedua, radiasi tak langsung. Radiasi tak langsung adalah radiasi yang terjadi lewat makanan dan minuman yang tercemar zat radio aktif, baik melalui udara, air, maupun media lainnya (www:batan.go.id).
Ada beberapa bahaya laten dari PLTN yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kesalahan manusia (human error) yang bisa menyebabkan kebocoran, yang jangkauan radiasinya sangat luas dan berakibat fatal bagi lingkungan dan makhluk hidup. Kedua, salah satu yang dihasilkan oleh PLTN, yaitu Plutonium memiliki hulu ledak yang sangat dahsyat. Sebab Plutonium inilah, salah satu bahan baku pembuatan senjata nuklir. Kota Hiroshima hancur lebur hanya oleh 5 kg Plutonium. Ketiga, limbah yang dihasilkan (Uranium) bisa berpengaruh pada genetika. Di samping itu, tenaga nuklir memancarkan radiasi radio aktif yang sangat berbahaya bagi nuklir sebagai sumber energi alternatif dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia memiliki cerita perjalanan yang panjang, mulai dari ditemukan hingga pemanfaatannya kini.
Betapa pentingnya PLTN dalam kehidupan masyarakat, baik manfaat dan madharatnya. PLTN menyangkut peri kehidupan masyarakat banyak. Apabila jadi dibangun, PLTN memberikan manfaat yang besar, sebaliknya apabila terjadi kerusakan PLTN, masyarakat juga yang akan menanggungnya. Inilah yang menjadikan PLTN menjadi isu strategis masyarakat Jepara.

b) PCNU jepara sebagai Mediator.
Masalah PLTN merupakan salah satu agenda yang cukup krusial tidak saja di negara-negara modern, tetapi juga negara Indonesia. Karena masalah PLTN tidak hanya menyangkut masalah energi, tapi juga melibatkan aspek lingkungan, ekologi, sosial, politik dan ekonomi.
Sebagai agama yang universal, Islam diharapkan mampu memberikan jawaban mengenai PLTN Muria melalui penelusuran norma-norma Islam, baik dalam bentuk prinsip dasar maupun operasional, baik yang terdapat dalam nash mapun pengalaman historis masyarakat Islam, agar penanganan masalah PLTN tetap mengacu kepada fitrah kemanusiaan.
Untuk meneropong isu PLTN Muria dengan kompleksitas persoalannya, prinsip yang menjadi acuan adalah penegakan kemaslahatan dan pemusnahan kemafsadatan. Dari prinsip ini, maka kebijakan yang menyangkut tentang hajat hidup umat, baik yang dlaruriyyat, hajiyyat maupun tahsiniyyat (Khallaf:1978)..
Aspek maslahat PLTN Muria diperkirakan mampu menanggulangi krisis energy berupa supply kebutuhan listrik Jawa-Bali sebesar 4%. Sedangkan mafsadah-nya bisa berdampak pada aspek lingkungan, ekologi, social, ekonomi dan politik.
Sebagai masyarakat yang berpegang teguh pada ajaran ahlussunnah wal jama'ah yang memegang teguh prinsip tawassuth, i`tidal, tasamuh, dan tawazun (Maskub, 199:93), warga NU memilih untuk melakukan harmonisasi dalam semua bidang, dengan cara al-shidqu, al-amanah wa al-wafa-u bil al-`ahd, dan al-ta`awun. Dengan prinsip ini, maka sesuatu yang dianggap maslahat atau mafsadah perlu dipaparkan secara transparan. Maslahah yang sejalan dengan kepentingan umum perlu didukung melalui kerjasama dan pengembangan solidaritas umat. Sebaliknya, mafsadah yang mengancam tata kehidupan manusia harus dieliminasi.
Mengingat dalam PLTN Muria aspek maslahah dan mafsadah berkumpul, maka PCNU Jepara melakukan upaya mempertemukan kelompok yang pro (memandang maslahat pada PLTN) dan kelompok yang kontra (menolak PLTN) untuk mencari solusi yang win-win solution. Masyarakat butuh pedoman dalam menentukan sikap terhadap rencana pembangunan PLTN.

c) Munculnya Fatwa Haram PLTN
Pro-Kontra mengenai rencana pemerintah hendak membangun PLTN Muria di Ujung Lemah Abang Balong, mendorong Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jepara bekerjasama dengan Lajnah Bahtsul Masail (LBM) Jawa Tengah, mengadakan mubahatsah (pembahasan), dengan melihatnya dari kacamata fikih. Rencana ini dipandang dari sisi kepentingan masyarakat Jepara secara khusus, sebagai sebuah masalah waqi’iyyah atau masalah yang terjadi dalam konteks lokal Jepara dan sekitarnya (Abshor:2008).
Masalah PLTN MURIA ini tidak hanya menyangkut masalah energi, tapi juga melibatkan aspek lingkungan, ekologi, sosial, politik dan ekonomi. Sebagai agama yang syaamil (meliputi berbagai aspek kehidupan) dan kaamil (sempurna secara keseluruhan), Islam diharapkan mampu memberikan jawaban mengenai PLTN Muria melalui penelusuran norma-norma Islam, baik dalam bentuk prinsip dasar maupun operasional, baik yang terdapat dalam nash maupun pengalaman historis masyarakat Islam, agar penanganan masalah PLTN Muria tetap mengacu kepada fitrah kemanusiaan.
Untuk meneropong masalah PLTN Muria dengan kompleksitas persoalannya, prinsip yang menjadi acuan adalah menegakkan kemaslahatan dan menghindarkan kemafsadatan. Dari prinsip ini, maka kebijakan yang menyangkut tentang hajat hidup umat, baik yang dlaruriyyat (kebutuhan primer), hajiyyat (kebutuhan sekunder) maupun tahsiniyyat (kebutuhan tersier atau kemewahan) harus mengakomodir tiga domain utama, yakni (1) domain tata kehidupan;  (2) domain pemenuhan kebutuhan; dan (3) domain kesesuaian dengan syari'ah.
Maslahat dan mafsadah dalam konteks ini, yang menjadi acuan hukum adalah yang muhaqqaqah atau nyata, bukan yang mauhumah atau hanya praduga.
Setelah mempertimbangkan berbagai argumentasi dari para pakar, baik yang pro maupun kontra, dan dengan berpegang teguh pada ajaran ahlussunnah wal jama’ah, prinsip tawassuth, i’tidal, tasamuh, tawazun, al-shidqu, al-amanah, dan al-wafa-u bil al-‘ahd, maka forum mubahasah memutuskan:
(1)Pembangunan PLTN Muria haram hukumnya.
(2)Yang berkewajiban menghentikan adalah pemerintah dan seluruh warga mayarakat, sesuai dengan porsi masing-masing.